Asuhan Keperawatan

My Blog List

Saturday, February 12, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HEMOFILIA

A. ANATOMI FISIOLOGI

Darah merupakan cairan ektraseluler yang terletak dalam saluran yakni pembuluh darah, yang terdiri atas pembuluh darah dan sel darah. Darah memiliki fungsi pertama, sebagai transportasi pernapasan, dimana sebagian besar oksigen diangkat oleh eritrosit dari alveoli ke organ atau jaringa tubuh, dan karbondioksida diangkut oleh jaringan oleh plasma darah menuju alveoli paru. Fungsi kedua, sebagai transfortasi zat makanan, mineral, vitamin, elektrolit, dan air dari gastrointestinal menuju hati melalui proses metabolisme, baru kemudian ke organ atau jaringan tubuh lain. Fungsi, ketiga, transfort metabolit atau hasil sisa yakni zat yang tidak digunakan dikirim ke ginjal untuk selanjutnya di keluarkan melalui urine. Funsi keempat, sebagai transportasi hasil suatu jaringan atau organ seperti hormon yang dihasilkan oleh kelenjar akan diangkut oleh darah. Demikian juga hasil metabolisme di hati diangkut oleh plasma sel dan limfosit, leukosit yang berperan dalam fagositosis. Fungsi keenam, berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam dan basa, juga sebagai transportasi bahan – bahan yang diberikan melalui cairan yang lewat aliran darah. Dan fungsi ketujuh, sebagai hemostasis yang terletak pada plasma darah. Proses hemostatasis ini merupakan upaya untuk mempertahankan hilangnya darah akibat kerusakan pembuluh darah atau pecah. Proses homeotasis melalui berbagai tahap, yakni tetap vascuar, koagulasi, serta dan rekontruksi.
1. Tahap vascular.
Tahap ini merupakan tahap awal dari kerusakan pembuluh darah, dapat terjadi vasokontriksi lokal dan retraksi, kemudian trombosit akan mengadakan agregasi, aglutinasi berperan atau akan lisis dan mengeluarkan bahan untuk prosese homeostasis seperti serotinin.
2. Tahap koagulasi
Pada tahap koagulasi, faktor pembekuan dan zat yang menghambat koagulasi atau anti koagulan berperan dan terjadi keseimbangan. Proses koagulasi terdiri atas tiga tahap. Diawali dengan proses pembekuan aktifator protrombin, perubahan protombin menjadi trombin. Dan perubahan frbrinogen menjadi fibrin.
3. Tahap pembersihan dan rekontruksi.
Merupaka tahap akhir dalam proses hemostasis berupaproses fibrinolisis dan pembentukan jaringan baru pada jaringanyang mengalami kerusakan.
( Hidayat, 2006 ).
4. Mekanisme pembekuan
Bahan yang turut serta dalam mekanisme pembekuan faktor pembekuan. Faktor – faktor tersebut ialah faktor I ( fibrinogen ). II ( protombin ), III ( tromboplastin ), IV ( kalsium dan bentuk ion ), V ( proaseleran, faktor labil ), VII ( prokonverin, faktor stabil ), VII (AHG = Antihemophilic Globulin ), IX (PTC = Plasma Thrombo ( lastin Antecedent ), XII ( hageman ), dan XIII ( faktor stabilitas febrin ). Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dalam 3 tahap dasar yaitu :
a. Pembekuan tromboplastin plasma intrinsik yang juga disebut tromboplastogenesis, dimulai dalam trombosit, terutama faktor trombosit III dan faktor pembekuan lain dengan pembekuan kolagen.
b. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisasi oleh tromboplastin, faktor IV, V, VII dan X.
c. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan katalisator trombin, faktor trombosit I dan III.
B. DEFINISI
1. Hemofilia berasal dari bahas Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta atau kasih sayang. Hemofilia adalah suatau penyakit yang diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saatanak tersebut dilahirkan
( www.hemofilia.or.id ).
2. Hemifilia adalah gangguan pendarahan yang disebabkan oleh defisiensi herediter dan faktor darah esensial untuk koagulasi ( Wong, 2003 ).
3. Hemofilia merupakan gangguan koagulasi kogenital paling sering dan serius. Kelainan initerkait dengan defisiensi faktor VII, IX atau XI yang ditemukan secara genetik ( Nelson, 1999 ).
4. Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten ( Price & Wilson, 2005 ).

C. KLASIFIKASI
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Hemofilia A yang dikenal juga dengan nama :
a. Hemofilia klasik : karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah.
b. Hemofilia kekurangan faktor VIII : terjadi karena kekurangan faktor 8 ( Faktor VIII ) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
2. Hemifilia B yang dikenal juga dengan nama :
a. Christmas disease : karena ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang yang bernama Steven Christmas asal Kanada.
b. Hemofilia kekurangan faktor IX : Terjadi karena kekurangan faktor 9 ( Faktor IX ) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada prosese pembekuan darah.

D. ETIOLOGI
1. Faktor congenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan darah menurun. Gejalanya berupa mudahnya timbul kebiruan pada kulit atau perdarahan spontan atau perdarahan yang berlbihan setelah suatu trauma.
Pengobatan : dengan memberikan plasma normal atau konsetrat faktor yang kurang atau bila perlu diberikan transfusi darah.
2. Faktor didapat.
Biasanya disebabkan oleh defisiensi faktor II ( protombin ) yang terdapat pada keadaan berikut :
Neonatus, karena fungsi hati belum sempurna sehingga pembekuan faktor darah khususnya faktor II mengalami gangguan. Pengobatan : umumnya dapat sembuh tanpa pengobatan atau dapat diberikan.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Masa bayi ( untuk diagnosis ).
a. Perdarahan berkepanjangan setelah sirkumsisi.
b. Ekimosis sudkutan diatas tonjolan – tonjolan tulang (saat berumur 3 – 4 bulan ).
c. Hematoma besara setelah infeksi.
d. Perdarahan dari mukosa oral.
e. Perdarahan jaringan lunak.
2. Episode perdarahan ( selama rentang hidup ).
a. Gejala awal, yaitu nyeri.
b. Setelah nyeri, yaitu bengkak, hangat dan penurunan mobilitas.
3. Sekuela jangka panjang.
Perdarahan berkepanjangan dalam otot dapat menyebabkan kompresi saraf dan fibrosis otot.

F. PATOFISIOLOGI
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah kongenital karena anak kekurangan faktor pembekuan VII ( hemofilia A ) atau faktor IX ( hemofilia B atau penyakit Christmas ). Keadaan ini adalah penyakit kongenital yang di turunkan kongenital yang oleh gen resesif X- Linked dari pihak ibu. Faktor VIII dan IX plasma kurang dari 1 %. Hemofilia sedang terjadi bila konsentrasi plasma antara 1 % dan 5 % dan hemofilia ringan terjadi bila konsentrasi plasma antara 5 % dan 25 % dari kadar normal.
Kecacatan dasar dari hemofilia A adalah defisiensi faktor VIII antihemophilic factor ( AHF ). AHF diproduksi oleh hati dan merupakan utama dalam pembebtukan tromboplastin pada pembekuan darah tahap I. AHF yang ditemukan dalam darah lebih sedikit, yang dapat memperberat penyakit. Trombosit yang melekat pada kolagen yang terbuka dari pembuluh yang cedera, mengkerut dan melepaskan ADP serta faktor 3 trombosit, yang sangan penting untuk mengawali sistem pembekuan, sehingga untaian fibrin memendek dan mendekatkan pinggir – pinggir pembuli darah yang cidera dan menutup daerah tersebut. Setelah pembekuan terjadi diikuti dengan sistem fibrinolitik yang mengandung antitrombin yang merupakan protein yang mengaktifkan fibrin dan memantau mempertahankan darah dalam keadaan cair.



G. PATHWAYS















H. KOMPLIKASI.
1. Tinbulnya inhibitor.
Inhibitor adalah cara tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai benda asing yang masuk. Hal ini berarti segera setelah konsetrat faktor diberikan tubuh akan melawan dan akan menghilangnya. Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsetrat faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkanya. Pada penderita hemofilia dengan inhibitor terhadap konsetrat faktor, reaksi penolakkan mulai terjadi segera setelah darah diinfuskan. Ini berarti konsetrat faktor dihancurkan sebelum ia dapat menghentikan pendarahan.
2. Kerusakan sendi akibat pendarahan berulang.
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan berulang didalam dan disekitar rongga sendi. Kerusakan yang menetap dapat di sebabkan oleh satu kali pendarahan yang berat ( Hemarthrosis ).
3. Infeksi yang ditularkan oleh darah.
Komplikasi hemofilia yang paling serius adalah infeksi yang ditularkan oleh darah.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji skining untuk koagulasi darah.
a. Jumlah trombosi ( normal 150.000 – 450.000 per mm3 darah ).
b. Masa protombin ( normal memerlukan waktu 11 – 13 detik ).
c. Masa tromboplastin parsial ( meningkat, mengukut keadekuatan faktor koagulasi intrinsik ).
d. Fungsional terhadap faktor VII dan IX ( memastikan diagnosis )
e. Masa pembekuan trombin ( normalnya 10 – 13 detik ).

2. Biopsi hati : digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
3. Uji fungsi feal hati : digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati ( misalnya, serum glutamic – piruvic trasaminase [ SPGT ], serum glutamic – oxaloacetic transaminase [ SGOT ], fosfatase alkali, bilirubin ).

J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis.
a. Diberikan infus kriopresipitas yang mengandung 8 sampai 100 unit faktor VIII setiap kantongnya.
b. Berikan AHF pada awal perdarahan untuk mengontrol Hematosis.
c. Berikan analgetik dan kortikosteroid untuk dapat mengurangi nyeri sendi dan kemerahan pada hemofilia ringan.
d. Jika dalam darah terdapat antibodi, maka dosis plasma konsenratnya dinaikan atau diberikan faktor pembekuan yang yang berbeda atau obat – obatan untuk mengurangi kadar antibodi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan.
a. Memperhatikan perawatan gigi agar tidak mengalami pencabutan gigi.
b. Istirahatkan anggota tubuh dimana ada luka.
c. Gunakan alat bantu seperti tongkat bila kaki mengalami perdarahan.
d. Kompreslah bagian tubuh yang terluka dan daerah sekitar dengan es.
e. Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak bergerak ( immobilisasi ).
f. Letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih tinggi dari posisi dada dan letakkan diatas benda yang lembut.

K. FOKUS PENGKAJIAN
1. Lakukan pengkajian fisik.
2. Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti penyakit pada saudara pria.
3. Observasi adanya manifestasi hemofilia.
a. Perdarahan yang berkepanjangan dimana saja dari atau di dalam tubuh.
Apakah anak ibu pernah mengalami perdarahan pada tubuh yang tidak dapat berhenti / tidak dapat membeku ?
b. Hemoragi karena trauma, misalnya kehilangan gigi desidua, sirkumsisi, terpotong, eptistaksis, injeksi.
Apakah anak ibu pernah mengalami perdarahan yang tidak dapat berhenti setelah disuntik / gigi tanggal / disunat ( bagi anak laki – laki ).
c. Memar berlebihan karena cidera ringan, seperti jatuh.
Apakah ketika anak ibu terjatuh / terbentur, ia selalu mengalami kebiruan pada kulitnya secara berlebihan ?
d. Hemografi subkutan dan intra muscular.
Apakah setiap kali disuntik anak ibu selalu mengeluarkan darah ?
e. Hemartrosis ( perdarahan karena rongga sendi ), khususnya lutut, pergelangan kaki dan siku.
Apakah anak ibu pernah mengalami perdarahan pada sendinya, mungkin ketika ia sedang belajar berjalan ?

L. FOKUS INTERVENSI
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan aktif ditandai dengan kesadaran menurun, perdarahan
Tujuan atau kriteria hasil : Tidak terjadi penurunan kesadaran, pengisian kapiler baik, perdarahan dapat teratasi.
INTERVENSI
a. Kaji penyebab perdarahan
b. Kaji warna kulit hemayom, sianosis.
c. Kolaborasi dalam pemberian IVFD adekuat.
d. Kolaborasi dalam pemberian tranfusi darah.
RASIONAL
a. Dengan mengetahui penyebab dari perdarahan maka akan membantu dalam menentukan intervensi yang tepat bagi pasien.
b. Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan perfusi jaringan dan membantu dalam menentukan intervensi yang tepat.
c. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta memaksimalkan kontraktilitas atau curah jantung sehingga sirkulasi menjadi adekuat.
d. Memberbaiki atau menormalkan jumlah sel darah merah dan menigkatkan kapasitas pembawa oksigen sehingga perfusi jaringan menjadi adekuat.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan akibat perdarahan ditandai dengan mukosa mulut kering, tugor kulit lambat kembali.
Tujuan atau kriteria hasil : Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan, mokusa mulut lembab, tugor kulit cepat kembali kurang dari 2 detik.
INTERVENSI
a. Awasi TTV.
b. Awasi haluaran dan pemasukan.
c. Perkiraan drainase luka dan kehilangan yang tampak.
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan adekuat.
RASIONAL
a. Perubahan TTV kearah yang abnormal dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kehilangan cairan akibat perdarahan atau dehidrasi.
b. Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan membantu mengevaluasi status cairan.
c. Memberikan informasi tentang derajat hipovolemi dan membantu menentukan intervensi.
d. Mempertahankan keseimbangan cairan akibat perdarahan.

3. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kelemahan pertahanan sekunder akibat hemofilia ditandai dengan seringnya terjadi cidera.
Tujuan atau kriteria hasil : Injuri dan komplikasi dapat dihindari atau tidak terjadi.
INTERVENSI
a. Pertahanan tempat tidur klien, pasang pengaman pada tempat tidur.
b. Hindarkan cidera ringan – berat.
c. Awasi setiap gerakan yang memungkinkan terjadinya cidera.
d. Ajurkan pada orang tua untuk segera membawa anak ke RS jika terjadi injuri.
e. Jelaskan pada orang tua pentingnya menghindari cidera.
f. Menurunkan resiko cidera atau trauma.
RASIONAL
a. Jaringan rapuh dan gangguan mekanisme pembekuan meningkat resiko perdarahn meskipun cidera atau trauma ringan.
b. Pasien hemofilia mempunyai resiko perdarahan spontan tak terkontrol sehingga diperlukan pengawasan setiap gerakan yang memungkinkan terjadinya cidera.
c. Identifikasi dini dan pengobatan dapat membatasi beratnya komplikasi.
d. Orang tua dapat mengetahui manfaat dari pencegahan cidera atau resiko perdarahan dan menghindari injuri dan komplikasi.












Friday, February 11, 2011

ASKEP CEREBRAL PALSY

A. LATAR BELAKANG

Cerebral palsy merupakan kelainan motoril yang banyak ditemukan pada anak-anak. Di Klinik Tunbuh Kembang RSUD Dr. Soetomo pada periode 1988 – 1991, sekitar 16,8% adalah dengan cerebral palsy. William Little yang pertama kali mempublikasikan kelainan ini pada tahun 1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai akibat dari prematuritas atau asifiksia neonatorium. Pada waktu itu kelainan ini dikenal sebagai penyakit dari Little. Sigmund Freud menyebut kelainan ini dengan istilah “ Infantil Cerebral Paralysis”. Sedangkan Sir William Osler adalah yang pertama memperkenalkan istilah “ cerebral palsy”. Nama lainnya adalah “Static encephalopathies of childhood”.

Angka kejadiannya sekitar 1-5 per 1000 anak laki-laki lebih banyak daripada wanita. Sering terdapat pada anak pertama, mungkin karena anak pertama lebih sering mengalami kesulitan pada waktu dilahirkan. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi BBLR dan anak-anak kembar. Umur ibu sering lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

Franky ( 1994 ) pada penelitiannya di RSUD sanglah Denpasar, mendapat bahwa umur 58,3% penderita cerebral palsy yang diteliti adalah laki-laki, 62,5% anak pertama, ibu semua dibawah 30 tahun, 87,5% berasal dari persalinan spontan letak kepala dan 75% dari kehamilan cukup bulan.

B. DEFINISI

Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. ( Behrman : 1999, hal 67 – 70 )

Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak kecil ) yang ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. ( Suriadi Skep : 2006, hal 23 – 27 ).

Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah : 2000, hal 54 – 56 ).

Cerebral palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik didalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. ( Yulianto : 2000, http:// www.medicastore .com ).

Cerebral palsy adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. ( Santi Wijaya : 1999, http:// www.pediatrik. Com ).

C. ETIOLOGI

Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian :
1. Pranatal
a. Infeksi intrauterin : TORCH, sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus.
b. Radiasi.
c. Asfiksia intrauterine ( abrupsio plasenta previa, anoksia maternal, kelainan umbilicus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain-lain ).
d. Toksemia grafidarum.

2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia.
b. Perdarahan otak.
c. Prematuritas.
d. Ikterus.
e. Meningitis purulenta.

3. Postnatal.
a. Trauma kepala.
b. Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan.
c. Racun : logam berat.
d. Luka Parut pada otak pasca bedah.

Beberapa penelitian menyebutkan factor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada factor pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, factor penyebab cerebral palsy.

Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan factor perinatal yaitu segala factor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedangkan factor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau sampai 5 tahun kehidupan ( Blair dan Stanley, 1982 ), atau sampai 16 tahun ( Perlstein, Hod, 1964 )


D. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis cerebral plasy tergantung dari bagian dan luas jaringan otak yang mengalami kerusakan :

1. Spastisitas
Tedapat peninggian tonus otot dan reflek yang disertai dengan klonus dan reflek Babinski kerusakan yaitu :
a. Monoplegia / monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
b. Hemiplegia / hemiparisis
Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
c. Diplegia / diparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat dari pada lengan.
d. Tetraplegia / tetraparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain

2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada usia pertama tampak flasid dan berbaring seperti kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada “ lower motor neuron” menjelang umur 1 tahun berubah menjadi tonus otot dari rendah hingga tinggi. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus “cerebral palsy”.

3. Ataksia
Ialah gangguan koordinasi kerusakan terletak di serebulum, terdapat kira-kira 5% dari kasus “ cerebral palsy”.

4. Gangguan pendengaran
Terdapat pada 5-10% anak dengan “cerebral palsy” gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.

5. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan dilidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot sehingga sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

6. Gangguan mata
Biasanya berupa strabismus convergen dan kelainan refraksi, asfiksia berat, dapat terjadi katarak, hamper 25% penderita “celebral palsy” menderita kelainan mata.

Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.

Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda.
Cerebral palsy dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Tipe spastic atau pyramidal ( 50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi kaku dan lemah. Pada tipe ini gejala yang hamper selalu ada adalah :
a) Hipertoni ( fenomena pisau lipat )
b) Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c) Kecenderungan timbul kontraktur.
d) Reflex patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut :
a) Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b) Spastic diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
c) Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
d) Monopologi, bila hanya satu anggota gerak.
e) Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2. Tipe disginetik ( koreatetoid, 20% dari semua kasus CP ), otot lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan menghilang jika anak tidur.
3. Tipe ataksik, ( 10% dari semua kasus CP ), terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan gerakan abnormal.
4. Tipe campuran ( 20% dari semua kasus CP ), merupakan gabungan dari 2 jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastic dan koreoatetoid.
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
1) Ringan :
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
2) Sedang :
Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
3) Berat :
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP :
a. Kecerdasan dibawah normal.
b. Keterbelakangan mental.
c. Kejang/epilepsy ( trauma pada tipe spastic ).
d. Gangguan menghisap atau makan.
e. Pernafasan yang tidak teratur.
f. Gangguan perkembangan kemampuan motorik ( misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan ).
g. Gangguan berbicara (disatria ).
h. Gangguan penglihatan.
i. Gangguan pendengaran.
j. Kontraktur persendian.
k. Gerakan menjadi terbatas.

E. PATOFISIOLOGI

1. Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower gry, saluran sulci dan berat otak rendah.
2. Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. CP ( Cerebral Palsy ) dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic displegia yang disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrnage dalam ventrikel.
3. Type athetoid / dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila gangsal banglia mengalami injury yang ditandai dengan indek terkontol, pergerakan yang tidak disadari dan lambat.
4. Type CP himepharetic, Karena trauma pada kortek atau CVA pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia; hipoglicemia neonatal dihubungkan dengan ataxia CP.
5. Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor korteks yang paling ditandai dengan ketegangan ototdan hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba – tiba pada sedikit atau semua ektermitas.
6. Ataxic CP adanya injury dari sebelum yang mana mengatur koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak terkoordinasi pada ekstremitas aras bila anak memegang / menggapai benda. Ada pergerakan berulang dan cepat namun minimal.
7. Rigid / tremor / atonic CP ditandai dengan kekakuan pada kedua otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada deformities multiple yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif.
8. Secara umum cortical dan antropy cerebal menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan retardasi mental dan microcephaly.

F. PATHWAY
Prenatal Infeksi intra


Radiasi


Asfiksia intrauterin


Toksemia gravidarum


Perinatal Anoksia / hipoksia


Perdarahan



Prematuritas



Ikterus



Meningitis Purulenta


Post natal Trauma


Meningitis


Bilirubin masuk ke ganglion basal Otak



Kernicterus & peny. Hemolitik


Injury basal ganglia Kerusakan jaringan otak tetap


Penyumbatan CSS

Penekanan kortek serebri Perdarahan diruang

Kelumpuhan spastic Hidrosefalus

Perdarahan disruang subarakhnoid
G. KOMPLIKASI

Kelainan Frekuensi Tipe Cerebral Palsy
Retardasi mental
Epilepsi
Kelainan Virus
Strabismus
Kelainan refraksi
Hemianopsia
Kelainan pendengaran
Disartria
Kelainan kortikal sensori
Pertumbuhan ekstremitas tidak
Simetris
Skoliosis
Dismofogenesis
Kontraktur sendi
Defisit persepsi 75%
25 – 50%
75%
25 – 50%
25%
25%
25%
25 – 50%
25 – 50%
25%
25%
7%
25 – 50% Atonik, rigid, spastik
Kuadriparesis
Hemiplegra, spastik
Kuadriparesis
Spastik diplegra dan
Kuadriparesis
Spastes atheroid
Hemiplegra
Post kern ikterus
Athetoid, spastik kuadriparesis
Hemiplegra
Hemiplegra
Spastik yang berat, spastik
Athetoid
Spastik
Spastik
Spastik



H. DIAGNOSIS BANDING

1. Mental subnormal
2. Retardasi motorik terbatas
3. Tahanan volunter terhadap gerakan pasif
4. Kelainan persendian
5. Cara berjalan yang belum stabil
6. Gerakan normal
7. Berjalan berjinjit
8. Pemendekan kongenital pada gluteus maksimus, sastrak nemius atau hamstring
9. Kelemahan otot-otot pada miopati, hipotoni atau palsy erb
10. lain penyebab dari gerakan involunter
11. Penyakit-penyakit degeneratif pada susunan saraf
12. Kelainan pada medala spinalis
13. Sindrom lain




I. PENGOBATAN / TERAPI

Tapi tidak dapat disembuhkan dan merupakan kelainan yang berlangsung seumur hidup. Tetapi banyak hal yang dapat dilakukan agar anak bisa hidup semandiri mungkin.
Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada gejala dan bisa berupa : Terapi fisik.

J. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :
1) Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari – hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan.Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat intelegensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderiata. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.

2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.

3) Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastic dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah disbanding dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon. Otot atau pada tulang.


4) Obat – obatan

Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.
Pada penderita CP yang kejang pemberian obat anti kejang memamerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilatin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, otot golongan benzodiazepine, misalnya : valium, Librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.
a. Loraces (penyangga)
b. Kaca mata
c. Alat Bantu dengar
d. Pendidikan dan sekolah khusus
e. Obat anti kejang
f. Obat pengendur otot ( untuk mengurangi tremor dan kekakuan) : baclofen dan diazepam
g. Terapi okupasional
h. Bedah ortopedik / bedah saraf, untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi
i. Terapi wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasimasalah makan
j. Perawatan (untuk kasus yang berat)

Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang bera, banyak anak dengan CPyang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa. Anak lainnya memerlukan terapi fisik yang luas pendidikan khusus dan selalu memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Pada beberapa kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang semakin memburuk akibat kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan juga perlu dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk mengendalikan pefluks gastroesofageal.

K. FOKUS PENGKAJIAN

1. Identifikasianak yang mempunyai resiko
a. Angka kejadian sekitar 1 -5 per 1000 anak
2. Jenis kelamin
a. Laki-laki lebih banyak daripada wanita
3. Kap iritabel anak, kesukaran dalam makan, perkembangan terlambat, perkembangan pergerakan kurang, postur tubuh yang abnormal, refleks bayi persisten, ataxic, kurangnya tonus otot.
4. Monitor respon untuk bermain
5. Kap fungsi intelektual
a. Pemeriksaan Fisik
1. Muskuluskeletal : - spastisitas
- Ataksia
2. Neurosensory : - gangguan menangkap suara tinggi
- Gangguan bicara
- Anak berliur
- Bibir dan lidah terjadi gerakan dengan sendirinya
- Strabismus konvergen dan kelainan refraksi
3. Eliminasi : - konstipasi
4. Nutrisi : - intake yang kurang
b. Pemeriksaan Laboraturium dan Penunjang
1. Pemeriksaan pendengaran ( untuk menentukan status pendengaran )
2. Pemeriksaan penglihatan ( untuk menentukan status fungsi penglihatan )
3. Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela, toksoplasmosis dan herpes
4. MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan bawaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran / letak vertikal.
5. EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum ( ensefalins ) / volsetasenya meningkat ( abses )
6. Analisa kromosom
7. Biopsi otot
8. Penilaian psikologik

L. DIAGNOSA KEPERAWATA

1. Resiko cidera b/d gangguan pada fungsi motorik
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
3. Gangguan aktivitas b/d kelainan gerakan danpostur tubuh yang tidak progresif
4. Resiko tinggi terhadap trauma b/d ataksia dan kelemahan umum
5. Perubahan perfusi jaringan b/d edema serebral yang mengubah / menghentikan aliran darh arteri / vena
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d penekanan respon inflamasi ( akibat – obat )
7. Kurangnya pengetahuan b/d perawatan dirumah dan kebutuhan terapi

M. FOKUS INTERVENSI

1. Resiko cidera b/d gangguan pada fungsi motorik
Tujuan : setelah dilaksanakan perawatan, diharapkan berkurangnya resiko cidera.
Kriteria hasil : - menyatakan pemahaman factor yang menyebabkan cidera
- Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cidera.

INTERVENSI RASIONAL
Ajarkan pola makan yang teratur
Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan / kegiatan, pertahankan kebersihan mulut anak Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi Memberikan intake yang adekuat dan menghindari terjadinya komplikasi / memperberat penyakit lebih lanjut
Meningkat kerja sistemendorphin sehingga meningatkan kemauan untuk makan
Meningkatkan gizi anak

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
Tujuan : setelah dilaksanakan perawatan, kliendiharapkan nutrisi menjadi adekuat.
Kriteria hasil : - adanya kemajuan peningkatan berat badan
- Tidak mengalami tanda – tanda malnitrisi
INTERVENSI RASIONAL
Ajarkan gerakan Pxdalam melaksanakan ADL
Bantu Px untuk memenuhi kebutuhannya
Perhatikan posisi penderita pada waktu istirahat / tidur Mengurangi terjadinya cidera yang dapat memperparah kondisi Px
Anak mempunyai banyak kebutuhan yang tidak dapat dilakukan sendiri karena keterbatasan
Untuk mencegah kontraktor
3. Gangguan aktivitas b/d kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif
Tujuan : setelah dilaksanakan perawatan, tidak terjadi gangguan aktivitas lagi.
Kriteria hasil : - aktivitas berjalan normal
- tidak ada keluhan terhadap gerakan yang dilakukan
INTERVENSI RASIONAL
Berikan aktivitas ringan yang dapat dikerjakan anak
Libatkan anak dalam mengatur jadwalharian dan memilih aktivitas yang diinginkan
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
Anjurkan keluarga turut membantu program latihan di rumah Anak dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki anaknya walaupun terbatas
Membantu pemenuhan kebutuhan

4. Kurangnya pengetahuan b/d perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
Tujuan : setelah dilaksanakan perawatan, diharapkan pengetahuan akan perawatan dan terapi meningkat.
Kriteria hasil : - menyatakan pemahaman terhadap perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
- melakukan perilaku / perubahan pola hidup untuk memperbaiki status kesehatan
- kebutuhan terapi dapat dipenuhi

INTERVENSI RASIONAL
Berikan informasi dalam bentuk – bentuk dan segmen yang singkat dan sederhana
Diskusikan mengenai kemungkinan proses penyembuhan yang lama
Berikan informasi tentang kebutuhan untuk diet tinggi protein / karbohidrat yang dapat diberikan / dimakan dalam jumlah kecil tetapi sering Menurunnya rentang perhatian pasien dapat menurunkan kemampuan untuk menerima / memproses dan mengingat / menyimpan informasi yang diberikan
Proses pemulihan dapat berlansung dalam beberapa minggu / bulan dan informasi yang tepat mengenai harapan dapat menolong pasien untuk mengatasi ketidakmampuan dan juga menerima perasaan tidak nyaman yang lama
Meningkatkan proses penyembuhan, makan – makanan jumlah kecil tetapi sering akan memerlukan kalori yang sedikit pada proses metabolisme, menurunkan iritasi lambung dan mungkin juga meningkatkan pemasukan secara total

N. IMPLEMENTASI

1. Resiko cidera b/d gangguan pada fungsi motorik
a. Mengajarkan pola makan yang teratur
b. Menganjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan / kegiatan
c. Mempertahankan kebersihan mulut anak
d. Mengkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
a. Mengajarkan gerakan Px dalam melaksanakan ADL
b. Membantu Px untuk memenuhi kebutuhannya
c. Memperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat / tidur

3. Gangguan aktivitas b/d kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif
a. Memberikan aktivitas ringan yang dapat dikerjakananak
b. Melibatkan anak dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktivitas yang diinginkan
c. Mengkolaborasi dengan ahli fisioterapi
d. Menganjurkan keluarga turut membantu program latihan di rumah
4. Kurangnya pengetahuan b/d perawatan di rumah dan kebutuhan terapi
a. Memberikan informasi dalam bentuk – bentuk dan segmen yang singkat dan sederhana
b. Mendiskusikan mengenai kemungkinan proses penyembuhan yang lama
c. Memberikan informasi tentang kebutuhan untuk anak diet tinggi protein / karbohidrat yang dapat diberikan / dimakan dalam jumlah kecil tetapi sering.





























DAFTAR PUSTAKA


1. Behrman, Kliegman, Arvin, 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15 Nelson, Jakarta : EGC.
2. Dr. Soetjiningsih, SpAK, 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta : ECG.
3. Santi Wijaya, Skep. Ns, 1999. Lumpuh Otak, Bandung : http://www.wikipedia.org.
4. Soetomenggolo, Taslim S, 1999. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. Supriadi Skp dkk, 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta :Sagung seto.
6. Yulianto, 2000. Cerebral Palsy Pada Anak, Jakarta : http ://www.pediatrik.com. 20 April 2008.
7. Wong Donna L, 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4, Jakarta : EGC

Asuhan Keperawatan anak Sepsis Neonatorum

Asuhan Keperawatan anak
Sepsis Neonatorum

A. Definisi
Sepsis adalah infeksi bakteri umum generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. Muscari, Mary E. 2005. hal 186).
Sepsi adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala- gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septic (Doenges, Marylyn E. 2000, hal 871).
Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. (Surasmi, Asrining. 2003, hal 92).
Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland, 2001 hal 979).
Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik.

B. Etiologi
a. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.
b. Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli, malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
c. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.
d. Perawatan antenatal yang tidak memadai.
e. Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus.
f. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
g. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
h. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus.
C. Manifestasi Klinis
a. Tanda dan Gejala Umum
1. Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal.
2. Aktivitas lemah atau tidak ada
3. Tampak sakit
4. Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu
b. Sistem Pernafasan
1. Dispenu- Takipneu- Apneu
2. Tampak tarikan otot pernafasan
3. Merintik- Mengorok
4. Pernapasan cuping hidung
5. Sianosis
c. Sistem Kardiovaskuler
1. Hipotensi
2. Kulit lembab dan dingin- Pucat- Takikardi
3. Bradikardi- Edema- Henti jantung
d. Sistem Pencernaan
1. Distensi abdomen- Anoreksia- Muntah- Diare
2. Menyusu buruk- Peningkatan residu lambung setelah menyusu
3. Darah samar pada feces- Hepatomegali
e. Sistem Saraf Pusat
1. Refleks moro abnormal- Intabilitas
2. Kejang
3. Hiporefleksi
4. Fontanel anterior menonjol
5. Tremor
6. Koma
7. Pernafasan tidak teratur
8. High-pitched crY
f. Hematologi
1. Ikterus
2. Petekie
3. Purpura
4. Prdarahan
5. Splenomegali
6. Pucat
7. Ekimosis
D. Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan gonorrea).
3. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial, infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus.

E. Potensial Komplikasi
1. Meningitis
2. Gagal nafas
3. gagal gianjal
4. gagal hati
5. KID
6. renjatan septik ireversibel
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan untuk membuktikan adanya Sepsis ini antara lain:
1. Uji serum
a. CA-125 : Sensitifitas atau spesifisitas berkurang
b. Protein plasenta 14 : Mungkin meningkat yang mengalami infiltrasi dalam, namun nilai klinis tidak diperlihatkan.
c. Antibodi Sensitifitas dan spesifisitas berkurang
2. Teknik pencitraan
a. Ultrasound
Dapat membantu dalam mengidentifikasi infeksi dengan sensitifitas 11%
b. MRI
90% sensitif dan 98% spesifik
c. Pembedahan
Melalui laparoskopi dan eksisi.
G. PENATALAKSANAAN
1. Pada masa antenatal. Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ke tempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2. Pada saat persalinan perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik dalam arti persalinan diperlukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan melakukan rujukkan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.
3. Sesudah persalinan. Perawatan sesudah lahir mleiputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan perlatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri. Perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aspetik. Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan keadaan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik semua personel yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi. Pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi.
Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorium adalah mempertahankan metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pembreian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh, tidak toksis, dapat menembus sawar darah otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi.
Dosis antibiotik untuk sepsus neonatorum.
a. Ampisilin 200 mg/kg BB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian.
b. Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.
c. Sefalosporin 100 mg/kg BB/hari, dibagai dalam 2 kali pemberian.
d. Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian.
e. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis.
f. Berikan lingkungan dengan temperatur netral.
g. Pertahankan kepatenen jalan napas
h. Observasi tanda-tanda syok septik
i. Antisipasi masalah potensial seperti dehidrasi/hipoksia
H. FOKUS INTERVENSI
1. Infeksi yang berhubungan dengan penu;aran ifneksi pada bayi sebelum, selama dan sesudah kelahiran.
Tujuan:
a. Mengenali secara dini bayi yang mempunyai resiko menderita infeksi.
Kriteria evaluasi : penularan infeksi tidak terjadi.
Intervensi :
a. Kaji bayi yang memiliki resiko menderita infeksi meliputi :
- Kecil untuk masa kehamilan, besar untuk masa kehamilan, prematur.
- Nilai apgar dibawah normal
- Bayi mengalami tindakan operasi
- Epidemi infeksi dibangsal bayi dengan kuman E. coli Streptokokus
- Bayi yang megalami prosedur invasif
- Kaji riwayat ibu, status sosial ekonomi, flora vagina, ketuban pecah dini, dan infeksi yang diderita ibu.
b. Kaji adanya tanda infeksi meliputi suhu tubuh yang tidak stabil, apnea, ikterus, refleks mengisap kurang, minum sedikit, distensi abdomen, letargi atau iritablitas.
c. Kaji tanda infeksi yang berhubungan dengan sistem organ, apnea, takipena, sianosis, syok, hipotermia, hipertermia, letargi, hipotoni, hipertoni, ikterus, ubun-ubun cembung, muntah diare.
d. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium
e. Dapatkan sampel untuk pemeriksaaan kultur.
Tujuan 2 : Mencegah dan meminimalkan infeksi dan pengaruhnya intercensi keperawatan.
a. Berikan suhu lingkungan yang netral
b. Berikan cairan dan nutrisi yang dibutuhkan melalui infus intravena sesuai berat badan, usia dan kondisi.
c. Pantau tanda vital secara berkelanjutan
d. Berikan antibiotik sesuai pesanan
e. Siapkan dan berikan cairan plasma segar intravena sesuai pesanan
f. Siapkan untuk transfusi tukar dengan packed sel darah merah atas indikasi sepsis.

2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan minum sedikit atau intoleran terhadap minuman.
Tujuan : memelihara kebutuhan nutrisi bayi, berat badan bayi tidak tujuan, menunjukkan kenaikan berat badan.
Kriteria hasil : nutrisi dan cairan adekuat.
Intervensi keperawatan :
a. Kaji intoleran terhadap minuman
b. Hitung kebutuhan minum bayi
c. Ukur masukan dan keluaran
d. Timbang berat badan setiap hari
e. Catat perilaku makan dan aktivitas secara kurat
f. Pantau koordinasi refleks mengisap dan menelan
g. Ukur berat jenis urine
h. Berikan minuman yang adekuat dengan cara pemberian sesuai kondisi
i. Pantai distensi abdomen (residu lambang)

3 : Gangguan pola pernafasan yang berhubungan dengan apnea.
Tujuan : mengatur dan membantu usaha bernpaas dan kecukupan oksigen.
Kriteria hasil : frekuensi pernapasan normal, tidak mengalami apneu.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji perubahan pernapasan meliputi takipnea, pernapasan cuping hidung, gunting,sianosis, ronki kasar, periode apnea yang lebih dari 10 detik.
b. Pantau denyut jantung secara elektronik untuk mengetahui takikardia atau bradikardia dan perubahan tekanan darah.
c. Sediakan oksigen lembap dan hangat dengan kadar T1O2 yang rendah untuk menjaga pengeluaran energi dan panas.
d. Sediakan alat bantu pernapasan atau ventilasi mekanik
e. Isap lendir atau bersihkan jalan napas secara hati-hati
f. Amati gas darah yang ada atua pantau tingkat analisis gas darah sesuai kebutuhan.
g. Atur perawatan bayi dan cegah penanganan yang berlebihan.

4 : Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan penularan infeksi pada bayi oleh petugas.
Tujuan : menceghah terjadinya infeksi nasokomial
Kriteria hasil : cedera pada bayi tidak terjadi.
Intervensi keperawatan :
a. Lakukan tindakan pencegahan umum, taati aturan/kebijakan keberhasilan kamar bayi.
b. Isolasi bayi yang datang dari luar ruang perawatan sampai hasil kultur dinyatakan negatif.
c. Keluarkan bayi dari ruang perawatan atua ruang isolasi yang ibunya menderita infeksi dan beri tahu tentang penyakitnya.
d. Semua personel atau petugas perawatan didalam ruang atau saat merawat bayi tidak menderita demam, penyakit pernapasan atau gastrointestinal, luka terbuka dan penyakit menular lainnya.
e. Sterilkan semua peralatan yang dipakai, ganti selang dan air humidifier dengan yang steril setiap hari atau sesuai ketentuan rumah sakit.
f. Bersihkan semua tempat tidur bayi dan inkubator berserta peralatannya dengan larutan anti septik tiap minggu atau sesudah digunakan.
g. Bersihkan semua tempat tidur bayi dan inkubator beserta peralatannya dengan larutan antiseptik tiap minggu atau sesudah digunakan.
h. Laksanakan secara steril semua prosedur tindakan dalam melakukan perawatan.
i. Semua perawat atau petugas lain mencuci tangan sesuai ketentuan setiap sebelum dan sesudah merawat atau memegang bayi.
j. Ambil sampel untuk kultur dari peralatan bahan persedian dan banyak bahan lain yang terkontaminasi diruang perawatan.
k. Jelaskan orang tua dan keluarga, ketentuan yang harus ditaati saat mengunjungi bayi.

5 : Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kesalahan dan kecemasan, penularan infeksi pada bayi dan konsekwensi yang serius dari infeksi.
Tujuan : meminimalkan kesalahan orang tua dan memberi dukungan koping saat krisis.
Kriteria hasil : koping individu adekuat.
Intervensi keperawatan :
a. Kaji ekspresi verbal dan non verbal, perasaan dan gunakan mekanisme koping
b. Bantu orang tua untuk mengatakan konsepnya tentang penyakit bayi, penyebab infeksi, lama perawatan dan komplikasi yang mungkin terjadi.
c. Berikan informasi yang akurat tentang kondisi bayi, kemajuan yang dicapai, perawatan selanjutnya dan komplikasi yang dapat terjadi.
d. Berdasarkan perasaan orang tua saat berkunjung, beri kesempatan untuk merawat bayi.






DAFTAR PUSTAKA

1.Betz, Cecily L & Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.

2.Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.

3.Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC
4.Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : Gaya Baru

askep anak dengan tb

A. Pengertian
Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu suatu bakteri tahan asam.
Tuberculosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Angka mortalitas dan morbiditasnya terus meningkat. TB sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh, perumahan di bawah standar dan perawatan kesehatan yang tidak adekuat.
Penyakit tuberculosis pada bayi dan anak disebut juga tuberculosis primer dan merupakan suatu penyakit sistemik. Tuberculosis prime biasanya mulai secara perlahan – lahan sehingga sukar ditentukan saat timbulnya gejala pertama. Kadang terdapat keluhan demam yang tidak diketahui sebabnya dan sering disertai tanda – tanda infeksi saluran nafas bagian atas. Bila tidak diobati sedini mungkin dan setepat – tepatnya dapat timbul komplikasi yang berat dan reinfeksi pada usia dewasa

B. Etiologi dan penularan
Penyebab adalah mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis ( jarang oleh mycobacterium avium). Basil tbc dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi mati di dalam cairan bersuhu 60  C selama 15 – 20 mnt. Fraksi protein basil tbc menyebabkan nekrosis jaringan, sedang lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan factor penyebab untuk terjadinya fibrosis serta terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil tbc tidak membentuk toksin.
Tbc ditularkan dari orang ke orang oleh tranmisi melalui udara. Individu terinfeksi melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa, atau bernyanyi melepaskan droplet besar ( > 100  ) dan kecil ( 1 – 5  ). Droplet yang besar menetap, semestara yang kecil tertahan di udara dan dihirup oleh individu yang rentan. Resiko untuk tertular tuberculosis salah satunya tergantung pada banyaknya organisme yang terdapat di udara.
Individu yang berisiko tinggi untuk tertular tbc adalah :
- Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif
- Individu imunosupresif ( termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi HIV )
- Pengguna obat – obat IV dan alkoholik
- Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat ( tuna wisma, tahanan, etnik dan ras minoritas terutama anak – anak dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun )
- Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya ( DM, GGK, penyimpangan gizi, by pass gastrektomy atau yeyunoileal )
- Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi ( Asia tenggara, Amerika latin, Afrika, Karibia )
- Setiap individu yang tinggal di Institusi dalam jangka lama ( missal penjara )
- Individu yang tinggal di perumahan kumuh
- Petugas kesehatan

C. Pathofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tbc dan menjadi terinfeksi. Namun masuknya kuman tbc ke dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit Infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tbc serta daya tahan tubuh manusia.
Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui system limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya ( ginjal, tulang, korteks cerebri ) dan area paru – paru lainnya ( lobus area ).
Sebagian besar infeksi primer terjadi di dalam paru, karena penularan sebagian besar melalui udara dan jaringan paru mudah terkena infeksi, maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas, disebut focus primer. Basil tbc menyebar dengan cepat melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi, Fokus primer, limfangitis dan kelenjar limfe reginal yang membesar membentuk kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi ( 2 – 10 mg atau 6 8 minggu ).
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit ( makrofag dan neutrofil ) menelan banyak bakteri, Limfosit spesifik tbc menghancurkan basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat di alveoli, menyebabkan bronkopneumonia, biasanya terjadi 2 – 10 mg setelah pemajanan.
Massa jaringan baru yang disebut granulomas yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian central dari massa jaringan fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan ( bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat menjadi kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman tanpa perkembangan penyakit aktif. Pada anak penyembuhan terutama ke arah kalsifikasi sedang pada dewasa ke arah fibrosis. Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil.
Terdapat 3 macam penyebaran patogen pada tuberculosis anak :
1. Penyebaran hematogen tersembeunyi yang kemudian munkun timbul gejala atau tanpa gejala klinis
2. Penyebaran hematogen umum, penyebaran milier, biasanya terjadi sekaligus dan menimbulkan gejala akut kadang – kadang kronis.
3. Penyebaran hematogen berulang – ulang.
Tbc primer cenderung sembuh sendiri, akan tetapi sebagian menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Juga dapat meluas ke dalam jaringan paru sendiri.

D. Manifestasi klinik dan pemeriksaan diagnostik
Demam, malaise, anoreksia, berat badan menurun, kadang – kadang batuk ( batuk tidak selalu ada, menurun sejalan dengan lamanya penyakit. Batuk pada awalnya non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptysis ), keringat malam, nyeri dada.
Gejala lanjut ( jaringan paru – paru sudah banyak yang rusak ) : pucat, anemia, lemah, dan BB turun.
Permulaan tbc primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena mulainya penyakit secara perlahan. Kadang tbc ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan. Tetapi secara rutin dengan uji tuberkulin dapat ditemukan penyakit tersebut. Gejala tbc primer dapat berupa demam yang naik turun selama 1- 2 minggu dengan atau tanpa batuk pilek. Gambaran klinisnya : demam, batuk, anoreksia dan BB menurun.
Pemeriksaan diagnostik untuk memastikan tbc meliputi :
- Pemeriksaan fisik
- Riwayat kesehatan : kontak
- Rontgen dada : lesi pada lobuis atas
- Kultur sputum : dipakai sputum pagi hari untuk kultur BTA dan ada tidaknya basil tbc
- Patologi anatomi : kel limfe, hepar, pleura, peritoneum , kulit ditemukan tuberkel dan BTA
- Tes tuberculin adalah tes kulit yang digunakan untuk menentukan apakah individu telah terinfeksi basil TB. Hasil positif diameter = 5 mm.

E. Penatalaksanan terapeutik
- Nutrisi adekuat
- Kemoterapi : antituberculosis 6 – 12 bl antara lain isoniasid ( INH ), rifampisin ( RIF ), Streptomisin ( SM ), etambutol ( EMB ) atau pirazinamid ( PZA )
- Pembedahan jika kemoterapi tidak berhasil. Mengangkat paru yang rusak, koreksi kelainan tulang
- Pencegahan :
o Hindari kontak dg orang yang terinfeksi tbc
o Intake nutrisi adekuat
o Imunisasi BCG
o Minum susu yg sudah pasteurisasi
o Isolasi

F. Pengkajian
- Riwayat keperawatan : riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi, penyakit yang pernah diderita sebelumnya
- Kaji adanya gejala-gejala panas naik turun dan dalam jangka waktu lama, batuk yang hilang timbul, anoreksi, lesu, kurang nafsu makan, hemoptysis

G. Diagnosa keperawatan dan perencanaan
1. Risiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
Tujuan : Mencegah perluasan infeksi tidak terjadi
- Tempatkan anak pada ruang khusus
- Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit pada anak dengan TB aktif
- Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika kontak dengan anak
- Melakukan uji tuberkulin dan memberikan penilaian hasil uji tersebut, mengambil bahan untuk pemeriksaan bakteri (analisa bilasan lambung pada anak yang masih sangat muda)
- Berikan antituberkulosis

2. Gg. Pertukaran gas b.d kerusakan jaringan paru
Tujuan : Meningkatkan pertukaran gas yang adekuat
- Memonitor tanda-tanda vital
- Mengobservasi adanya sianosis pada mulut
- Mengkaji irama, kedalaman, dan ekspansi pernafasan
- Melakukan auskultasi suara nafas dan mendokumentasikan adanya suara abnormal (ronki, wheezing)
- Mengajarkan cara bernafas efektif
- Memberikan oksigen sesuai indikasi
- Memonitoring hasil analisa gas darah

3. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya sekret
Tujuan : Meningkatkan pola nafas yang efektif dan kepatenan jalan nafas
- Mengkaji ulang status pernafasan (irama, kedalaman, suara nafas, penggunaan otot bantu pernafasan, bernafas melalui mulut)
- Mengkaji ulang tanda-tanda vital (denyut nadi, irama dan frekuensi)
- Memberikan posisi tidur semi fowler/fowler
- Membantu klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan kemampuannya
- Menganjurkan anak untuk banyak minum
- Memberikan oksigen sesuai indikasi
- Memberikan obat-obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas seperti bronkodilator, antikolinergik dan anti peradangan)

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan anorekxia.
Tujuan : Memenuhi kebutuhan nutrisi
- Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
- Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
- Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
- Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral dan mencukupi kebutuhan gizi anak
- Menilai indikator terpenuhnya kebutuhan nutrisi ( BB. LILA. LKT dll )
- Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan porsi kecil tetapi sering.
- Menimnbang BB tiap hari pada waktu sama dan dengan skala yang sama
- Mempertahankan kebersihan mulut anak
5. Gangguan aktivitas diversional berhubungan dengan isolasi dari klp sebaya. Tujuan : Membantu memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan
- Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan, ketrampilan tangan, vidio game, televisi)
- Memberikan mainan yang menarik untuk memberikan stimulasi yang bervariasi bagi anak.
- Melibatkan anak dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktivitas yang diinginkan
- Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama dirumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika memungkinkan.

Perencanaan Pemulangan
- Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping, lama pemberian terapi, cara meminum obat.
- Melakukan imunisasi jika imunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
- Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal
- Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan





VENTRIKEL SEPTIAL DEFECT

Definisi
Suatu keadaan abnormal yaitu adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.

Patofisiologi
- Adanya defek pada ventrikel, menyebabkan tekanan ventrikel kiri meningkat dan resistensi sirkulasi arteri sistemik lebih tinggi dibandingkan resistensi pulmonal. Hal ini akan mengakibatkan darah mengalir ke arteri pulmonal melalui defek septum
- Volume darah di paru akan meningkat dan terjadi resistensi pembuluh darah paru. Dengan demikian tekanan di ventrikel kanan meningkat akibat adanya shunting dari kiri ke kanan. Ini akan resiko endokarditis, dan meningkatkan terjadinya hipertropi otot ventrikel kanan sehingga akan berdampak pada peningkatan workload sehingga atrium kanan tidak dapat mengimbangi meningkatnya workload, terjadilah pembesaran atrium kanan untuk mengatasi resitensi yang disebabkan oleh pengosongan atrium yang tidak sempurna.

Komplikasi
- Endokarditis
- Obstruksi pembuluh darah pulmonal
- Syndrome Elisenmenger










Asuhan Keperawatan Pada Anak

Defek

Tekanan yang tinggi Resistensi sirkulasi
Di dalam ventrikel kiri Arteri sistemik lebih tinggi
Dibandingkan resistensi pulmonal



Darah mengalir ke arteri
Pulmonal melalui defek septum


Volume darah di paru-paru meningkat


Registensi pembuluh darah paru


Tekanan di ventrikel kanan
(Akibat shunting dari kiri ke kana)



Hipertrofi otot
Ventrikel kanan


Workload


Atrium kanan tidak
Dapat mengimbangi
Meningkatnya workload



Pembesaran atrium kanan untuk
mengatasi resistensi yang
disebabkan oleh pengosongan
atrium yang tidak sempurna


Gejala CHF : murmur, distensi
Vena jugalri, edema, hepatomegali


Penurunan curah jantung


Hipoxia kronis

Askep Anak dengan Marasmus


Askep Anak dengan Marasmus



PENGERTIAN

• Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).
• Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein. (Suriadi, 2001:196).
• Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori. (Nelson, 1999:212).
• Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. (Arisman, 2004:157).
• Energi yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi.
• Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan metabolisme protein. Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh untuk :
1. Mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
2. Sebagai cadangan protein tubuh.
3. Mengontrol perdarahan (terutama dari fibrinogen).
4. Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
5. Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
Dalam darah ada 3 fraksi protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.

ETIOLOGI
• Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital. (Nelson,1999).
• Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin, 1990:116).

PATOFISIOLOGI
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. (Arisman, 2004:92). Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. (Nuuhchsan Lubis an Arlina Mursada, 2002:11).

MANIFESTASI KLINIK
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja berisi mukus dan sedikit. (Nelson,1999).

Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :
1. Badan kurus kering tampak seperti orangtua
2. Lethargi
3. Irritable
4. Kulit keriput (turgor kulit jelek)
5. Ubun-ubun cekung pada bayi
6. Jaingan subkutan hilang
7. Malaise
8. Kelaparan
9. Apatis

PENATALAKSANAAN
1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kualitas biologiknya baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin.
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit.
3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat.
4. Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian antropometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan, kaji tanda-tanda vital.

Penanganan KKP berat
Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi.
Upaya pengobatan, meliputi :
- Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.
- Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik
- Pengobatan infeksi
- Pemberian makanan
- Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan vitamin, anemia berat dan payah jantung.

Menurut Arisman, 2004:105
- Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100 cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
- Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2 jam pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg BB/ jam.
- Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.
- Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian CRO/intravena diberikan dalam kegiatan rehidrasi.
- Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-masing disebut sebagai F-75 dan F-100.

Menurut Nuchsan Lubis
Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan IV.
- cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat Dextrose 5%.
- Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.
- Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.
- Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.
2. Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan
- Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/ kg BB/ hari.
- Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.
- Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-10 hari.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Mengukur TB dan BB
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).
2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.

FOKUS INTERVENSI
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)
Tujuan :
Pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
meningkatkan masukan oral.
Intervensi :
a. Dapatkan riwayat diet
b. Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak atau ada disaat makan
c. Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan menjadi menyenangkan
d. Gunakan alat makan yang dikenalnya
e. Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah gangguan dan memuji anak untuk makan mereka
f. Sajikan makansedikit tapi sering
g. Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)
Tujuan :
Tidak terjadi dehidrasi
Kriteria hasil :
Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi
b. Monitor jumlah dan tipe masukan cairan
c. Ukur haluaran urine dengan akurat

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes, 2000).
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil :
kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal
Intervesi :
a. Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi
b. Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi
c. Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang
d. Alih baring

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh
Tujuan :
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal

Intervensi :
a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b. Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril
c. Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam prosedur kontrol infeksi
d. Beri antibiotik sesuai program

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)
Tujuan :
pengetahuan pasien dan keluarga bertambah
Kriteria hasil:
Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.
Intervensi :
a. Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien
b. Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi
c. Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan adekuat
d. Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien

6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).
Tujuan :
Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
Kriteria hasil :
Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau aktifitas motorik sesuai dengan usianya.
Intervensi :
a. Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia.
b. Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II
c. Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas perkembangan
d. Berikan mainan sesuai usia anak.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)
Tujuan :
Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil :
Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.
Intervensi :
a. Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia
b. Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien

8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).
Tujuan :
Kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral.
Intervensi :
a. Pantau kulit terhadap tanda luka tekan
b. Ubah posisi sedikitnya 2 jam
c. Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.
Ncithea