Asuhan Keperawatan

My Blog List

Saturday, March 19, 2011

askep ca serviks

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENGERTIAN
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).

II. ETIOLOGI
Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko dan predisposisi yang menonjol, antara lain :

1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual
Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda

2. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.

3. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.

4. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai factor penyebab kanker serviks

5. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.

6. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.

7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.

III. KLASIFIKASI PERTUMBUHAN SEL AKAN KANKERS SERVIKS

Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.

2. Stadium karsinoma insitu
Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.

3. Stadium karsionoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker.

4. Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametrium dan korpus uteri.

5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks
Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudah nekrosis dan perdarahan.
Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.

Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubah bentuk menjadi ulkus.

Markroskopis
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.

IV. GEJALA KLINIS
1. Perdarahan
Sifatnya bisa intermenstruit atau perdarahan kontak, kadang-kadang perdarahan baru terjadi pada stadium selanjutnya. Pada jenis intraservikal perdarahan terjadi lambat.
2. Biasanya menyerupai air, kadang-kadang timbulnya sebeluma ada perdarahan. Pada stadium lebih lanjut perdarahan dan keputihan lebih banyak disertai infeksi sehingga cairan yang keluar berbau.

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sitologi/Pap Smear
Keuntungan, murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan, tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi.
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Koloskopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan ; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan ; hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.

4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali

5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya.

6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.

VI. KLASIFIKASI KLINIS
• Stage 0: Ca.Pre invasif
• Stage I: Ca. Terbatas pada serviks
• Stage Ia ; Disertai inbasi dari stroma yang hanya diketahui secara histopatologis
• Stage Ib : Semua kasus lainnya dari stage I
• Stage II : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai kepanggul telah mengenai dinding vagina. Tapi tidak melebihi dua pertiga bagian proksimal
• Stage III : Sudah sampai dinding panggula dan sepertiga bagian bawah vagina
• Stage IIIB : Sudah mengenai organ-organ lain.

VII. TERAPI
1. Irradiasi
• Dapat dipakai untuk semua stadium
• Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk
• Tidak menyebabkan kematian seperti operasi.
2. Dosis
Penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak diserviks
3. Komplikasi irradiasi
• Kerentanan kandungan kencing
• Diarrhea
• Perdarahan rectal
• Fistula vesico atau rectovaginalis
4. Operasi
• Operasi Wentheim dan limfatektomi untuk stadium I dan II
• Operasi Schauta, histerektomi vagina yang radikal
5. Kombinasi
• Irradiasi dan pembedahan
Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah.
6. Cytostatika : Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5 % dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, diangap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama.


VIII. HUBUNGAN KANKER SERVIKS DENGAN MASALAH KEPERAWATAN

Jika diperhatikan secara keseluruhan maka proses terjadinya Ca. Serviks dan masalah keperawatan yang muncul dapat diperhatikan pada bagan berikut :

Faktor :

Prilaku Lingkungan
( Sex aktif, paritas, personal higiene) ( Polusi, onkonenik agent, virus,
radiasi)


Kanker Serviks



Pelayanan Kesehatan Genetika
( Deteksi dini penyakit, laboraorium, (Keluarga yang menderita Ca,
Penanganan kasus P. Kelamin keluarga dengan ambang stress rendah)
penyuluhan pencegahan Ca. Serviks)


- Kelemahan jaringan/ dinding menjadi rapuh  perdarahan masif  anemia
- Peningkatan kadar leukosit / kerusakan nosiseptor / penekanan pada dinding serviks  Nyeri
- Gangguan peran sebagai istri dan gangguan gambaran diri  Ggn konsep diri.
- Gejala tidak nyata  adanya berbagai macam tindakan untuk menegakkan diagnose terdiagnose Ca  kecemasan

I. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Data dasar
Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang

Data pasien :
Identitas pasien, usia, status perkawinan, pekerjaan jumlah anak, agama, alamat jenis kelamin dan pendidikan terakhir.

Keluhan utama : pasien biasanya datang dengan keluhan intra servikal dan disertai keputihan menyerupai air.

Riwayat penyakit sekarang :
Biasanya klien pada stsdium awal tidak merasakan keluhan yang mengganggu, baru pada stadium akhir yaitu stadium 3 dan 4 timbul keluhan seperti : perdarahan, keputihan dan rasa nyeri intra servikal.

Riwayat penyakit sebelumnya :
Data yang perlu dikaji adalah :
Riwayat abortus, infeksi pasca abortus, infeksi masa nifas, riwayat ooperasi kandungan, serta adanya tumor. Riwayat keluarga yang menderita kanker.
Keadaan Psiko-sosial-ekonomi dan budaya:
Ca. Serviks sering dijumpai pada kelompok sosial ekonomi yang rendah, berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas makanan atau gizi yang dapat mempengaruhi imunitas tubuh, serta tingkat personal hygiene terutama kebersihan dari saluran urogenital.

Data khusus:
1. Riwayat kebidanan ; paritas, kelainan menstruasi, lama,jumlah dan warna darah, adakah hubungan perdarahan dengan aktifitas, apakah darah keluar setelah koitus, pekerjaan yang dilakukan sekarang
2. Pemeriksaan penunjang
Sitologi dengan cara pemeriksaan Pap Smear, kolposkopi, servikografi, pemeriksaan visual langsung, gineskopi.


2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan (anemia) b.d perdarahn intraservikal
b. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan nafsu makan
c. Gangguan rasa nyama (nyeri) b.d proses desakan pada jaringan intra servikal
d. Cemas b.d terdiagnose c.a serviks sekunder akibat kurangnya pengetahuan tentang Ca. Serviks dan pengobatannya.
e. Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan terhadap pemberian sitostatika.

3. Perencanaan
Gangguan perfusi jaringan (anemia) b.d perdarahan masif intra cervikal
Tujuan :
Setelah diberikan perawatan selama 1 X 24 jam diharapkan perfusi jaringan membaik :

Kriteria hasil :
a. Perdarahan intra servikal sudah berkurang
b. Konjunctiva tidak pucat
c. Mukosa bibir basah dan kemerahan
d. Ektremitas hangat
e. Hb 11-15 gr %
d. Tanda vital 120-140 / 70 - 80 mm Hg, Nadi : 70 - 80 X/mnt, S : 36-37 Derajat C, RR : 18 - 24 X/mnt.

Intervensi :
- Observasi tanda-tanda vital
- Observasi perdarahan ( jumlah, warna, lama )
- Cek Hb
- Cek golongan darah
- Beri O2 jika diperlukan
- Pemasangan vaginal tampon.
- Therapi IV

Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan.
Tujuan :
- Setelah dilakukan perawatan kebutuhan nutrisi klien akan terpenuhi
Kriteria hasil :
- Tidak terjadi penurunan berat badan
- Porsi makan yang disediakan habis.
- Keluhan mual dan muntah kurang

Intervensi :
- Jelaskan tentang pentingnya nutrisi untuk penyembuhan
- Berika makan TKTP
- Anjurkan makan sedikit tapi sering
- Jaga lingkungan pada saat makan
- Pasang NGT jika perlu
- Beri Nutrisi parenteral jika perlu.

Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses desakan pada jaringan intra servikal

Tujuan
- Setelah dilakukan tindakan 1 X 24 jam diharapka klien tahu cara-cara mengatasi nyeri yang timbul akibat kanker yang dialami

Kriteria hasil :
- Klien dapat menyebutkan cara-cara menguangi nyeri yang dirasakan
- Intensitas nyeri berkurangnya
- Ekpresi muka dan tubuh rileks

Intervensi :
- Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan klien
- Tanyakan derajat nyeri yang dirasakan klien dan nilai dengan skala nyeri.
- Ajarkan teknik relasasi dan distraksi
- Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien
- Kolaborasi dengan tim paliatif nyeri

Cemas yang b.d terdiagnose kanker serviks sekunder kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks, penanganan dan prognosenya.

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan selama 1 X 30 menit klien mendapat informasi tentang penyakit kanker yang diderita, penanganan dan prognosenya.
Kriteria hasil :
- Klien mengetahui diagnose kanker yang diderita
- Klien mengetahui tindakan - tindakan yang harus dilalui klien.
- Klien tahu tindakan yang harus dilakukan di rumah untuk mencegah komplikasi.
- Sumber-sumber koping teridentifikasi
- Ansietas berkurang
- Klien mengutarakan cara mengantisipasi ansietas.

Tindakan :
- Berikan kesempatan pada klien dan klien mengungkapkan persaannya.
- Dorong diskusi terbuka tentang kanker, pengalaman orang lain, serta tata cara mengentrol dirinya.
- Identifikasi mereka yang beresiko terhadap ketidak berhasilan penyesuaian. ( Ego yang buruk, kemampuan pemecahan masalah tidak efektif, kurang motivasi, kurangnya sistem pendukung yang positif).
- Tunjukkan adanya harapan
- Tingkatkan aktivitas dan latihan fisik

Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan sekunder terhadap pemberian sitostatika.

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan, konsep diri dan persepsi klien menjadi stabil


Kriteria hasil :
- Klien mampu untuk mengeskpresikan perasaan tentang kondisinya
- Klien mampu membagi perasaan dengan perawat, keluarga dan orang dekat.
- Klien mengkomunikasikan perasaan tentang perubahan dirinya secara konstruktif.
- Klien mampu berpartisipasi dalam perawatan diri.

Intervensi :
- Kontak dengan klien sering dan perlakukan klien dengan hangat dan sikap positif.
- Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikanbperasaan dan pikian tentang kondisi, kemajuan, prognose, sisem pendukung dan pengobatan.
- Berikan informasi yang dapat dipercaya dan klarifikasi setiap mispersepsi tentang penyakitnya.
- Bantu klien mengidentifikasi potensial kesempatan untuk hidup mandiri melewati hidup dengan kanker, meliputi hubungan interpersonal, peningkatan pengetahuan, kekuatan pribadi dan pengertian serta perkembangan spiritual dan moral.
- Kaji respon negatif terhadap perubahan penampilan (menyangkal perubahan, penurunan kemampuan merawat diri, isolasi sosial, penolakan untuk mendiskusikan masa depan.
- Bantu dalam penatalaksanaan alopesia sesuai dengan kebutuhan.
- Kolaborasi dengan tim kesehatan lain yang terkait untuk tindakan konseling secara profesional.

LAPORAN KASUS

Pengkajian dilakukan hari senin, 17 September 2001
A. Pengkajian
1. Identitas
Klien Suami
Nama : - Ny. N.H - Alm.Tn. T
Umur : - 45 tahun - (Kx. Lupa)
Suku/bangsa : - Jawa - Jawa
Agama : - Islam - Islam
Pendidikan : - SD - SLTA
Pekerjaan : - Swasta - Swasta
Alamat :
Nomor Rekam medik : 100
Status perkawinan : Suami pertama (Janda sudah 7 tahun sampai se- karang)

2. Riwayat Keperawatan
Keluhan utama : Ibu mengeluh keluar darah beku,banyak,warna kehitam an dan berbau setelah nyeri pinggang,bawah pusat dan kemaluan sejak 10 hari yang lalu (10/8/ 2001),saat pengkajian menurut ibu darah keluar encer,banyak, warna merah biasa dan bau.
3. Riwayat Obstetri
Klien mengatakan menarche umur 12 tahun, klien sudah tidak haid lagi/meno-pouse sejak umur 40 tahun (5 tahun yang lalu) tapi 10 hari yang lalu klien me-ngeluarkan darah seperti haid. Sebelum menopouse siklus haid 28 hari,lama haid 3 hari,sedikit,encer warna merah,tidak berbau, nyeri tidak ada. Keputih an 1 bulan yang lalu warna kuning, sedikit, bau. Anak 7 orang,hidup 6 orang,ma ti 1 0rang,anak terkecil berumur 15 tahun. Abortus tidak pernah.
4. Riwayat Perkawinan
Klien menikah pada umur 12 tahun,perkawinan pertama, saat ini klien janda su dah 7 tahun, punya anak saat berumur 16 tahun.
5. Riwayat Keluarga Berencana
KB steril setelah anak yang terkecil lahir
6. Riwayat Kesehatan
Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah menderita suatu penyakit yang be rat hingga harus dirawat dirumah sakit, kecuali saat KB steril, demikian juga penyakitnya saat ini baru dirasa mengganggu sejak 10 hari yang lalu itupun ka rena anjuran anak dan menantunya,klien khawatir/cemas kalau diiagnosa kan-ker.
7. Riwayat menderita penyakit lain
• DM disangkal
• Hipertensi disangkal
• Hepatitis disangkal
• Jantung disangkal

Kebutuhan Dasar Khusus
a. Pola Nutrisi
Klien biasa makan 3 kali sehari dengan nasi, sayur dan lauk lengkap. Nafsu makan klien baik,walau agak risih dengan bau yang keluar dari kemaluannya sehingga klien memilih makan terpisah dari anggota keluarga yang lain.
b. Pola eliminasi
Bab 1 kali sehari lembek dan warna kuning. Bak 3-4 kali sehari, pada ma-lam hari klien selalu ingin kencing.
c. Personal Hygiene
Klien senantiasa menjaga kebersihan tubuhnya, terutama vaginanya dengan menggunakan rebusan daun sirih,tetapi bau tetap timbul.
d. Istirahat dan tidur
Klien biasa tidur Pk. 21.00 dan bangun Pk. 04.30 pagi. Siang hari istirahat tidur 4 – 5 jam,malam sering terbangun karena ingin kencing.
e. Pola aktivitas dan istirahat
Klien bekerja menjaga toko yang merupakan peninggalan suaminya bergan-tian dengan anak dan menantunya,pukul 11.00 Wib klien pulang digantikan oleh anak/menantunya.
f. Pola hubungan seksual
Sejak suami klien meninggal 7 tahun yang lalu klien tidak pernah lagi berhubungan suami-isteri.
g. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Riwayat merokok : disangkal
Minum-minuman keras : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
h. Pengetahuan tentang kesehatan
Klien mengungkapkan ketakutannya jika dia benar-benar menderita kanker, klien menanyakan apa lagi pemeriksaan yang harus dilakukan. Saya takut jika pemeriksaan yang akan dilakukan akan menyebabkan kesakitan dan perdarahan.

Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Kesadaran kompos mentis, GCS : 15, klien tampak lesu dan ekspresi wajah klien datar.
b. Penginderaan
Mata normal, konjunctiva agak pucat.
Telinga : bentuk dan fungsi normal
Lidah : bentuk dan fungsi normal
Hidung : bentuk dan fungsi normal
c. Pernafasan
RR : 20 X/mnt, gerakan dada simetris, retraksi (-), Wh -/-, Rh -/-, Rales -/-, Sesak (-).
d. Kardiovaskuler
T : 110/80 mmHg, N : 96 X/mnt, S : 36,8 oC, Kapillary Refill 2 dt, Cyanosis (-), S1 S2 normal.
e. Pencernaan
Periastaltik (N),BAB (normal), Kelainan pada bentuk dan fungsi rektum (-).
f. Urogenital
Vulva : Fulsus (+), Fluor albus (-)
Vagina : Normal
Portio : Rapat berdungkul
Corpus Uteri : Antefleksi, massa (-),kesan normal
Adneksa Parametrium kanan dan kiri : Supel, Nyeri (-), Massa (-),
Cavum Douglas : Tidak menonjol, infiltrasi (-)
Insipikulo : Porsio terlihatrapat,berdungkul,fluksus (+),Fluor (-)
g. Integumen
Kulit warna putih,Turgor baik, kelainan tidak ada
h. Muskuloskeletal
Otot dan tulang intak.
i. Endokrin
Kelenjar tyroid : normal, payudara normal.


Data Penunjang
Biopsi : Belum ada hasil
Hb : 10 gr %
Therapi dan perawatan :
• Amoxicillin 500 mg 3 x 1 tab
• Asam Mefenamat 500 mg 3 x 1 tab
• Aff tampon 2 x 24 jam

B. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH
S Klien mengungkapkan keta-kutannya jika dia benar-be-nar menderita kanker, klien menanyakan apa lagi peme-riksaan yang harus dilakukan Saya takut jika pemeriksa-an yang akan dilakukan akan menyebabkan kesakitan dan perdarahan.

O : RR= 20 X/mnt, N= 96 X/ mnt, T= 110/80 mm Hg. S= 36.8 o C.
Ekpresi wajah klien datar. Terdapat massa berdungkul pada portio, fulsus (+),bau (+). Perdarahan sewaktu VT
Kurangnya pengetahuan tentang Kanker Serviks dan Prosedur Pemeriksaan untuk menegakkan diagnose Ca. Serviks.


Stress


Rangsangan terhadap HPA Aksis


Ketakutan
Medula adrenal


Peningkatan kerja saraf otonom


Peningkatan katakolamin, noradrenalin


Muka pucat nadi meningkat

Kecemasan

C. Diagnose Keperawatan
Cemas berhubungan dengan terdiagnosa suspek Ca. serviks sekunder kurangnya pengetahuan tentang Ca. Serviks, pemeriksaan yang dilakukan serta prognosanya
D. Rencana Keperawatan
Hari
Tgl
Jam

Diagnose
Tujuan
Tindakan
Rasinalisasi
Senin 20/8/2001 Cemas berhubu ngan dengan terdiagnosa suspek Ca ser viks sekunder kurangnya pe-ngetahuan ten tang Ca.Ser-viks, pemerik-saan yang dila-kukan serta prognosanya Setelah di beri-kan tindakan pera watan selama 30 menit perasaan cemas klien ber-kurang.

Kriteria :
- Pasien berbagi beban masalah yang dihadapi sehubungan di-diagnose sus-pek Ca.serviks.

- Koping dan sum ber pendukung teridentifikasi
- Klien komunika-tif, ekpresi wa-jah jelas.
- Postur tubuh rileks
- Klien tahu ten-tang kanker, tindakan serta prognosenya.
- Bersedia dilaku-kan pemeriksa-an penunjang berupa Hb dan biopsi.
- Mengutarakan dan mengerti cara mengantisipasi stress.
1. Berikan ke-sempatan kepa-da klien & kelu-arga mengung kapkan perasa-annya & dengar kan secara em-pati.
2. Dorong dis-kusi terbuka te ntang kanker, & pemeriksaan pe-nunjang yang harus di laku-kan.
3. Jelaskan tindakan , tuju an serta akibat dari pemeriksa- an penunjang harus dijalani klien.
4. Identifikasi terhadap faktor yang beresiko terhadap keti-dak berhasilan penyesuaian diri klien






5. Tunjukkan adanya harapan.




6. Anjurkan untuk tetap beraktivitas Untuk menimbulkan rasa percaya.






Untuk menyiapkan mental klien sehubung an dgn pemeriksaan yang akan dilakukan.



Klien akan bersedia mengikuti prosedur pemeriksaan penunja-ng yang harus dilaku kan pada klien.


Kekuatan ego yang bu ruk, kemampuan peme cahan masalah yang tidak efektif,kurangnya motivasi & kurangnya sistem pendukung akan meningkatkan kecemasan,meningkatkan kadar kortisol, menu-runkan sistem imun klien dan selanjutnya berakibat pada kondi-si klien.
Harapan untuk mengu-rangi tingkat stress me-rangsang peningkat an sistem imun sehing-ga memperbaiki kuali -tas hidup klien.
Aktivitas akan mengu-rangi inpuls psikologis yang negatif yang ber-pengaruh pada daya ta han tubuh klien

E. Tindakan Keperawatan
Dx Hari/Tgl/jam Tindakan Evaluasi
Cemas berhubungan de-ngan terdiagnosa sus-pek Ca. serviks sekun-der kurangnya pengeta huan tentang Ca. Ser-viks,pemeriksaan yang dilakukan serta prog-nosanya.

































































Nyeri sebagai efek tin-dakan biopsi ditandai dengan klien mengeluh nyeri dan perih pada vagina.











Potensial terjadi perda rahan b/d adanya perlu kaan pada serviks.










Potensial terjadi infek-si b/d perlukaan pada serviks. Senin, 20/8/2001
09.30 – 10.15















































10.15


















11.00


11.15

11.30















11.30












11.30
1. Berdiskusi se cara terbuka tentang kan ker, dan peme riksaan penun jang yang ha-rus dilakukan.
2. Menjelaskan tindakan, tuju-an serta aki-bat dari peme riksaan penun-jang harus dija lani klien.

3. Memberikan ke sempatan kepa da klien dan keluarga meng ungkapkan pe-rasaannya dan dengarkan se-cara empati tentang tang-gapan klien terhadap pe-nyakit yang dialami serta pemeriksaan yang akan di-lakukan.
4. Jelaskan tin-dakan yang ak-an dilakukan jika klien be-nar terdiagno-se kanker, ser-ta kemungkinan kesembuhanny
5. Identifikasi terhadap fak-tor yang bere-siko terhadap ketidakberhasilan penyesuai-an diri klien
6. Tunjukkan ada nya harapan.
7. Anjurkan un-tuk tetap ber-aktivitas
















8. KIE prosedur pemeriksaan Hb.
9. Menyiapkan tin dakan biopsi.
10. Observasi kli-en setelah tin-dakan biopsi.






11. Anjurkan klien sementara isti-rahat di TT.
12. Kolaborasi :
Mefenamad
Acid 3 x 500
Mg.
13. Anjurkan me-ngobservasi perdarahan pada vagina setelah diru-mah. HE tan-da-tanda per-darahan.
14. Anjurkan klien membuka tampon 2 hari lagi di Poli kandungan
15. KIE tanda-tanda infeksi.
16. KIE tentang ke bersihan vagi-na
17. HE Cara mem-bersihkan vagi-na yang dapat mencegah in-feksi.
18. Kolaborasi Amoksisilin 3x 500 mg

Klien mengerti. Akan tetapi takut jika hasil pemeriksaan nantinya benar-benar menunjuk-kan kanker.


Klien memahami dan bersedia untuk dilaku-kan pemeriksaan penun-jang berupa pemeriksa-an Hb dan biopsi agar semuanya menjadi jelas dan klien tidak cemas dalam ketidakpastian.
Klien menanyakan apa-kah jika hasil pemeriksa an benar kanker,nanti-nya bisa disembuhkan.












Klien dapat memahami dan berjanji mengha-dapi apapun yang akan terjadi.




Klien mau terbuka meng ungkap permasalahan-nya




Klien bersikap tabah

Klien bersedia
S : Klien dan keluarga berusaha menghadapi apapun yang akan terjadi. Klien siap dilakukan pemeriksaan penunjang.

O : Klien expresinya tenang.
A : Kecemasan ber-kurang danbersedia dilakukan pemeriksaan tambahan.
P : Siapkan pemeriksaan HB dan Persiapan biopsi.
Klien melakukan peme-riksaan Hb di kamar 14 dengan hasil 10 gr %
Klien dan alat siap

Tampon (+), perdarahan (sedikit), perdarahan abnormal (-), Nyeri (+). Klien bertanya bagaima na dengan tampon yang ada di vaginanya , Kapan harus dibuka dan bagai-mana jika cebok diru-mah.
Klien istirahat.


Resep sudah diterima.



Perdarahan (-)
Klien mengerti cara mengobservasi tanda perdarahan pada tam-pon.



Klien mengerti dan ber sedia



Klien mengerti

Klien paham







Resep diterima

F. Evaluasi
A. DX Hari/Tgl/Jam Perkembangan
Nyeri sebagai efek tin-dakan biopsi ditandai dengan klien mengeluh nyeri dan perih pada vagina.

Potensial terjadi perda rahan b/d adanya perlu kaan pada serviks.




Potensial terjadi infek-si b/d perlukaan pada serviks Senin, 20/8/2001 11.50




11.55






12.00 S : Klien tahu cara mengurangi nyeri. Kien mengerti cara minum obat anti nyeri.
O : Resep Mef Acid 3 X 500 mg
A : Nyeri masih dirasakan
P : Anjurkan klien kontrol pd tgl 23 Agustus 2001
S : Klien tahu tanda-tanda perdarahan dan cara mengpbservasi perdarahan. Klien akan membuka tamponnya di Poli kandungan
O : Tanda perdarahan tidak ada
A : Masalah teratasi sebagian
P : ingatkan tanda-tanda perdarahan dan buka tampon di Poli kandungan
S : Klien tahu tanda-tanda infeksi dan cara perawatan kebersihan vagina di rumah. Klien tahu cara minum Amoxicilin
O : Tanda infeksi (-). Resep Amoxicilin 3 X 500 mg.
A : Masalah teratasi sebagian
P : He agar klien kontrol ke Poli kandungan tanggal 23 Agustus 2001.

Sunday, March 6, 2011

KEPERAWATAN ANAK I

RETARDASI MENTAL


RETARDASI MENTAL


A. PENDAHULUAN
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama pada retardasi mental ialah intelegensi yang terbelakang atau keterbelakangan mental.
Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.Retardasi mental bukanlah suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektual dan fungsi adaptif. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Hasil bagi intelegensi (IQ = “Intelligence Quotient”) bukanlah merupakan satu-satunya patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya retardasi mental. Sebagai kriteria dapat dipakai juga kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya mulai dari taraf ringan, sedang sampai berat, dan sangat berat.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.
(Maramis WF,1994)
Retardasi mental adalah suatu keadaan dimana taraf perkembangan kecerdasan di bawah normal, Seorang anak dikatakan mengalami kondisi mental retardasi berdasarkan angka IQ, yaitu angka intelegensia umur kronologis yang dibandingkan intelegensia umur yang normal pada waktu bersangkutan.
(http://tiarsblog.blogspot.com/2008/05/retardasi-mental.html)

Klasifikasi retardasi mental menurut DSM-IV-TR yaitu :

1. Retardasi mental berat sekali IQ dibawah 20 atau 25. Sekitar 1 sampai 2 % dari orang yang terkena retardasi mental.
2. Retardasi mental berat IQ sekitar 20-25 sampai 35-40. Sebanyak 4 % dari orang yang terkena retardasi mental.
3. Retardasi mental sedang IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Sekitar 10 % dari orang yang terkena retardasi mental.
4. Retardasi mental ringan IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena retardasi mental. Pada umunya anak-anak dengan retardasi mental ringan tidak dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah.

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di indonesia 1-3 persen penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit di ketahui karena retardasi metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

C. ETIOLOGI
Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas sebabnya (simpleks).keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan atau anak-anak.

Retardasi mental menurut penyebabnya, yaitu :

- Akibat infeksi atau intoksikasi. Dalam Kelompok ini termasuk keadaan retardasi mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi intrakranial, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.
- Akibat rudapaksa atau disebabkan fisik lain. Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan dengan retardasi mental. Rudapaksa sesudah lahir tidak begitu sering mengakibatkan retardasi mental.
- Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi.Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini.Ternyata gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat memepngaruhi perkembangan
- otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur 6 tahun, sesudah ini biarpun anak itu diberikan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan.
- Akibat penyakit otak yang nyata (postnatal). Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
- Akibat penyakit/pengaruh pranatal yang tidak jelas.Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomali kranial primer dan defek kogenital yang tidak diketahui sebabnya.-Akibat kelainan kromosom. Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlah atau dalam bentuknya.
- Akibat prematuritas. Kelompok ini termasuk retardasi mental yang berhubungan dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu serta tidak terdapat sebab-sebab lain seperti dalam sub kategori sebelum ini.
- Akibat gangguan jiwa yang berat. Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
- Akibat deprivasi psikososial. Retardasi mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor biomedik maupun sosiobudaya.

C. Manifestasi klinis
Retardasi mental ringan, keterampilan sosial dan komunikasinya mungkin adekuat dalam tahun-tahun prasekolah. Tetapi saat anak menjadi lebih besar, defisit kognitif tertentu seperti kemampuan yang buruk untuk berpikir abstrak dan egosentrik mungkin membedakan dirinya dari anak lainnya seusianya.
Retardasi mental sedang, keterampilan komunikasi berkembang lebih lambat. Isolasi sosial dirinya mungkin dimulai pada saat sekolah dasar. Dapat dideteksi lebih dini jika dibandingkan dengan retardasi mental ringan.
Retardasi mental berat, bicara anak terbatas dan perkembangan motoriknya buruk. Pada usia prasekolah sudah nyata ada gangguan. Pada usia sekolah mungkin kemampuan bahasanya berkembang. Jika perkembangan bahasanya buruk, bentuk komunikasi nonverbal dapat berkembang.
Retardasi mental sangat berat, keterampilan komunikasi dan motoriknya sangat luas. Pada masa dewasa dapat terjadi perkembangan bicara dan mampu menolong diri sendiri secara sederhana. Tetapi seringkali masih membutuhkan perawatan orang lain.
Terdapatnya ciri klinis lainnya yang dapat terjadi sendiri atau menjadi bagian dari gangguan retardasi mental, yaitu hiperaktivitas, toleransi frustasi yang rendah, agresi, ketidakstabilan afektif, perilaku motorik stereotipik berulang, dan perilaku melukai diri sendiri.
(Maramis WF,1994)
D. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa retardasi mental dengan tepat, perlu diambil anamnesa dari orang tua dengan teliti mengenai kehamilan, persalinan dan perkembangan anak. Bila mungkin dilakukan juga pemeriksaan psikologik, bila perlu diperiksa juga di laboratorium, diadakan evaluasi pendengaran dan bicara. Observasi psikiatrik dikerjakan untuk mengetahui adanya gangguan psikiatrik disamping retardasi mental.
Tingkat kecerdasan intelegensia bukan satu-satunya karakteristik, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik yang berbeda. Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan klinis, prilaku adaptif dan hasil tes psikometrik. Untuk diagnosis yang pasti harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan retardasi mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala: mikrosefali, hidrosefali, dan sindrom down. Wajah pasien dengan retardasi mental sangat mudah dikenali seperti hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar, gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah tampak tumpul.

Kriteria diagnostik retardasi mental menurut DSM-IV-TR yaitu :

1. Fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata. IQ kira-kira 70 atau dibawahnya pada individu yang dilakukan test IQ.
2. Gangguan terhadap fungsi adaptif paling sedikit 2 misalnya komunikasi, kemampuan menolong diri sendiri, berumah tangga, sosial, pekerjaan, kesehatan dan keamanan.
3. Onsetnya sebelum berusia 18 tahun Ciri-ciri Perkembangan penderita retardasi mental.
Diagnosis Banding

Anak-anak dari keluarga yang sangat melarat dengan deprivasi rangsangan yang berat (retardasi mental ini reversibel bila diberi rangsangan yang baik secara dini). Kadang-kadang anak dengan gangguan pendengaran atau penglihatan dikira menderita retardasi mental. Mungkin juga gangguan bicara dan “cerebral palsy” membuat anak kelihatan terbelakang, biarpun intelegensianya normal. Gangguan emosi dapat menghambat kemampuan belajar sehingga dikira anak itu bodoh. “early infantile” dan skizofrenia anak juga sering menunjukkan gejala yang mirip retardasi mental.

Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan-sosio ekonomi, konseling genetik dan tindakan kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak).
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak, perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kogenital, operasi tidak menolong).
Pencegahan tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi neuroleptika kepada yang gelisah, hiperaktif atau dektrukstif. Konseling kepada orang tua dilakukan secara fleksibel dan pragmatis dengan tujuan antara lain membantu mereka dalam mengatasi frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan retardasi mental. Orang tua sering menghendaki anak diberi obat, oleh karena itu dapat diberi penerangan bahwa sampai sekarang belum ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat yang dapat membantu pertukaran zat (metabolisme) sel-sel otak.

Latihan dan Pendidikan

Pendidikan anak dengan retardasi mental secara umum ialah:
• Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas yang ada.
• Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial.
• Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari nafkah kelak.

Latihan diberikan secara kronologis dan meliputi :

1. Latihan rumah: pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian sendiri, kebersihan badan.
2. Latihan sekolah: yang penting dalam hal ini ialah perkembangan sosial.
3. Latihan teknis: diberikan sesuai dengan minat, jenis kelamin dan kedudukan sosial.
4. Latihan moral: dari kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap pelanggaran disiplin perlu disertai dengan hukuman dan tiap perbuatan yang baik perlu disertai hadiah.

Saturday, March 5, 2011

Diagnosis Kekurangan Pendengaran

PENDAHULUAN
Kekurangan pendengaran (K.P) bukanlah suatu penyakit
melainkan suatu gejala dari berbagai penyakit/gangguan
telinga 1 - 3 .
Penderita dengan keluhan K.P. tidak jarang ditemukan dalam
praktek umum di Indonesia, di mana insidensi KP. bilateral
saat ini sudah mencapai + 1,9% dari penduduk di Indonesia 4 .
Diagosis sering tidak mudah, oleh karena : (1) Penderita
kurang kooperatif (terutama anak-anak, penderita gangguan
mental, pendidikan yang kurang, dan usia lanjut), (2) Penyebab
kekurangan pendengaran itu sendiri sukar diketahui 1.3.5.6
Berdasarkan hal tersebut di atas, timbul masalah, bagaimana
cara membuat diagnosis K.P. yang sederhana sehingga dapat
dipakai oleh dokter-dokter umum di daerah-daerah namun
hasilnya cukup dapat dipercaya.
BATASAN DAN RUANG LINGKUP
Yang dimaksud dengan kekurangan pendengaran adalah
keadaan di mana seseorang kurang dapat mendengar dan
mengerti suara/percakapan yang didengarnya1,3
Untuk mendiagnosis KP., sebagai dokter umum cukuplah
memperhatikan keempat aspek penting berikut ini :
1. Penentuan pada penderita apakah ada KP. atau tidak
2. Jenis KP.
3. Derajat K.P.
4. Menentukan penyebab KP.
Penentuan pada penderitaan apakah ada K.P. atau tidak
Dalam penentuan apakah ada KP. atau tidak pada penderita,
hal penting yang harus diperhatikan adalah umur penderita.
Respon manusia terhadap suara/percakapan yang didengarnya
tergantung pada umur pertumbuhannya. Usia 6
tahun diambil sebagai batas. Kurang dari 6 tahun respons
anak terhadap suara/percakapan berbeda-beda tergantung
umurnya, sedangkan umur lebih dari 6 tahun, respons anak
terhadap suara/percakapan yang didengar sama dengan orang
dewasa2, 5 , 7
Karena luasnya aspek diagnostik KP. pada kedua golongan
umur tersebut, maka dalam makalah ini yang diuraikan hanya
diagnosis KP. pada anak-anak umur 6 tahun ke atas dan
dewasa.
Jenis K.P.
Jenis KP. berdasarkan lokalisasi lesi :
a). KP. jenis hantaran
Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga luar dan atau
telinga tengah.
b).KP. Jenis sensorineural
Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga dalam (pada
koklea dan N. VIII).
c). K.P. Jenis campuran
Lokalisasi lesi/gangguan pada telinga tengah dan telinga
dalam.
d).KP. Jenis sentral
Lokalisasi gangguan/lesi pada nukleus auditorius di batang
otak sampai dengan koteks otak. 3 . 8
e). KP. Jenis fungsional
Pada K.P. Jenis ini tidak dijumpai adanya gangguan/lesi
organik pada sistem pendengaran baik perifer maupun
sentral, melainkan berdasarkan adanya problem psikologis
atau emosional. 2,3
Untuk K. P. jenis sentral dan fungsional, mengingat masih
terbatasnya pengetahuan proses pendengaran di wilayah
tersebut, di samping masih belum banyak dikenal teknik uji
pendengaran yang dapat dimanfaatkan untuk bahan diagnostik,
maka pada makalah ini akan dibatasi pada diagnosis KP.
jenis hantaran, sensorineural dan campuran saja.
Derajat K.P.
Klasifikasi derajat KP. menurut ISO 1964 dan ASA 1951
(dikutip oleh Mangape D) adalah sebagai berikut :
1 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985
Derajat KP. "dB loss" ISO 1964 ASA 1951
- pendengaran normal - 10 - 26 dB - 10 - 15 dB
- ringan 27 - 40 dB 16 - 29 dB
- sedang 41 - 55 dB 30 - 44 dB
- sedang - berat 56 - 70 dB 45 - 59 dB
- berat 71 - 90 dB 60 - 79 dB
- sangat berat lebih 90 dB lebih 80 dB
Keterangan: "dB loss" di sini diambil rata-rata kekurangan
pendengaran hantaran udara pada frekuensi 500, 1000 dan
2000 Hz.
Menentukan Penyebab K.P.
Menentukan penyebab K. P. merupakan hal yang paling sukar
di antara ke 4 batasan/aspek tersebut di atas.
Untuk itu diperlukan :
- Anamnesis yang luas dan cermat tentang riwayat terjadinya
K.P. tersebut.
- Pemeriksaan umum dan khusus (telinga, hidung dan tenggorokan)
yang teliti.
- Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan seperti foto Ro,
laboratorium), dan sebagainya.3 11
GEJALA DAN TANDA-TANDA
K.P. Jenis hantaran
Pada K.P. jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena
beberapa gangguan/lesi pada kanal telinga Iuar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra
rotunda dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa
komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam
maupun jalur persyaratan pendengaran (N.VIII). Ini merupakan
perbedaan yang prinsipiil dengan K.P. jenis lainnya.
Gejala
a) ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi
telinga sebelumnya.
b) Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah
bergerak dengan perubahan posisi kepala.
c) K.P. yang terjadi dapat timbul secara mendadak setelah
mandi, bangun tidur atau setelah membersihkan kotoran telinga
luar dengan ujung jarinya.
d) Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau
mendengung)
e) Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara
dengan suara lembut (soft voice) khususnya pada penderita
otosklerosis.
f) Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana
ramai (parakusis Wilisiana).
Kadang-kadang mengeluh tidak dapat mendengar dengan
haik waktu makan, bahkan seperti mendengar suara gaduh
waktu mengujah.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi
1. Ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi kendang
telinga ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah.
2. Dapat juga kanal telinga luar/selaput kendang telinga tampak
normal, misalnya : pada otosklerosis, di mana yang terkena
rantai tulang pendengarannya.
b) Tes fungsi pendengaran
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter.
- Sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada
rendah.
2. Tes garputala :
- Rinne (-), dengan memakai garputala 250 Hz (hantaran
tulang lebih baik dari hantaran udara).
- Weber lateralisasi kearah yang sakit (memakai garputala
250 Hz).
- Schwabach memanjang (memakai garputala 512 Hz).
3. Tes Audiometri
* Audiometri nada murni :
- Hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara.
- Hantaran tulang dalam batas normal.
- Ada kesenjangan antara hantaran udara dan hantaran
tulang lebih dari 15 dB (disebut gap).
- Nilai ambang hantaran udara tidak akan melebihi 60 dB.
* Audiometri nada tutur :
- Nilai ambang persepsi tutur bergeser ke kanan pada
gambaran audiogramnya.
- Nilai diskriminasi tutur dapat mencapai 100% bila
intensitas suara diperkeras.
K.P. Jenis Sensorineural
K.P. jenis ini merupakan problem yang menjadi tantangan
bagi para dokter. Masalahnya adalah : (1) Dari semua jenis
K.P. maka K.P. jenis sensorineural inilah yang terbanyak4,9 .
terutama pada pekerja industri, dan usia lanjut. (2) K.P. jenis
ini umumnya irrebersibel dan jelas mempengaruhi kepribadian
penderita yang dapat berkembang kearah yang kurang baik.
Adanya efek psikologis pada kepribadian penderita inilah
menurut pandangan Sataloff J. (1966), maka K.P. jenis sensorineural
mempunyai latar belakang medis penting.3
Gejala
a) Bila K.P.bilateraldan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti
suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini
lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari
penderita K.P. jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
b) Bila ada tinitus biasanya nada tinggi sebagai suara yang
mendering atau menyiut -nyiut.
c) Penderita lebih sukar mengartikan/mendengar suara/
percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
d) Dapat pula ada riwayat trauma kepala, trauma akustik,
riwayat pemakaian obat-obat ototoksik ataupun penyakit sistemik
sebelumnya.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi :
Kanal telinga luar maupun selaput kendang telinga normal.
b) Tes fungsi pendengaran :
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak 5
meter.
- Sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi
(huruf konsonan).
Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985 17
2. Tes garputala :
- Rinne (+), hantaran udara lebih balk dari pada hantaran
tulang.
- Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat.
- Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang.
3. Tes audiometri nada murni :
- Ada penurunan nilai ambang hantaran udara dan hantaran
tulang, biasanya akan lebih berat mengenai frekuensi
tinggi.
- Hantaran udara berimpit dengan hantaran tulang.
- Kadang-kadang disertai adanya suatu dip pada frekuensi
tinggi (4000 Hz untuk trauma akustik, obat ototoksik
dsb.).
4. Tes audiometri nada tutur :
- Nilai diskriminasi tutur (NDT) tidak dapat mencapai 100%
meskipun intensitas suara diperkeras.
- Dapat terjadi fenomena recruitment.
K.P. Jenis Campuran
Merupakan kombinasi dari KP. jenis hantaran dan K.P. jenis
sensorineural. Mula-mula K.P. jenis ini adalah jenis hantaran
(misalnya : otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut
menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya mulamula
K.P. jenis sensorineural lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran, seperti misalnya : presbiakusis kemudian
terkena infeksi otitis media. Peristiwa yang lain yang juga
dapat terjadi kedua gangguan tersebut terjadi bersama-sama.
Misalnya : trauma kepala yang berat sekaligus mengenai
telinga tengah dan telinga dalam.
Gejala -gejala
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua
komponen gejala K. P. jenis hantaran dan sensorineural, tergantung
mana yang lebih dulu terjadi, dapat pula terjadi
bersamaan seperti yang terjadi pada trauma kepala tesebut
di atas.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi :
- Sperti pada K.P. jenis sensorineural.
b) Tes fungsi pendengaran :
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter.
- Sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada
rendah maupun nada tinggi.
2. Tes garputala :
- Rinne (-).
- Weber lateralisasi ke arah yang sehat .
Schwabach memendek.
3. Tes audiometri :
* Audiometri nada murni
- Audiogram menunjukkan adanya penurunan nilai ambang
hantaran tulang dan hantaran udara, tetapi ada kesejangan
antara keduanya lebih dari 15 dB pada setiap frekuensi.
* Audiometri nada tutur : Audiometri nada murni :
- Audiogram menunjukkan pengurangan nilai diskriminasi
tutur (NDT), tidak dapat mencapai 100%. Bila intensitas
suara dinaikkan memang ada perbaikan sedikit tetapi tidak
sampai mencapai 100% 3,10
DIAGNOSIS KEKURANGAN PENDENGARAN
Setelah memahami gejala dan tanda-tanda berbagai jenis
kekurangan pendengaran tersebut di atas, akan diuraikan
lebih lanjut bagaimana penerapannya dalam membuat diagnosis
KP. sepraktis mungkin, tetapi cukup bagi dokter-dokter umum.
Pada prinsipnya meliputi :
A. Anamnesis (lihat gejala dan lampiran).
B. Pemeriksaan, yang meliputi
a. Fisik/otoskopik telinga, hidung dan tenggorok (lihat tandatanda).
b. Tes fungsi pendengaran : Tes bisik, Tes garputala, Tes
audiometri.
c. Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan).
Tes fungsi pendengaran
TES BISIK
Suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa
kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil
tes berupa jarak pendengaran yaitu jarak antara pemeriksa
dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar 6 .
Cara pemeriksaan : lihat lampiran.
Hasil : Normal : 6/6 (17,5 dB) atau
5/6 (23,6 dB)
K.P. derajat ringan : 4/6 (39,8 dB)
K.P. derajat sedang : 3/6 (44 dB)
K.P. derajat sedang berat : 2/6 (51,5 dB)
K.P. derajat berat : 1/6 (85. dB)
TES GARPUTALA
Tes ini dapat menentukan jenis-jenis K.P. Dikenal ada 3
macam tes garputala yang lazim dipakai :
a. Tes Rinne.
b. Tes Weber.
c. Tes Schwabach.
Semua tes garputala ini menggunakan garputala 256 Hz dan
512 Hz.
Tes Rinne
Prinsip: membandingkan kemampuan pendengaran hantaran
tulang dan hantaran udara penderita.
Cara : lihat lampiran.
Hasil : - Tes Rinne (+) bila hantaran udara >> hantaran tulang
- Tes Rinne (-) bila hantaran udara << hantaran tulang.
- Tes Rinne (+): pada pendengaran normal dan K.P.
jenis sensorineural
- Tes Rinne (-): pada K.P. jenis hantaran
Tes Weber
Prinsip: membandingkan kemampuan hantaran tulang pada
telinga kiri dan kanan penderita.
Cara : lihat lampiran.
Hasil : * Lateralisasi ke arah telinga sakit:
- Telinga tersebut K.P. jenis hantaran, telinga lain
normal
- Kedua telinga KP. jenis hantaran, tetapi telinga
tersebut lebih berat dari yang lain
1 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985
- Telinga tersebut normal/KP. jenis hantaran, sedang
telinga lain KP. jenis sensorineural.
* Tidak ada lateralisasi : - Kedua telinga normal
- Kedua telinga KPJH sama
berat
- Kedua telinga KPJSN sama
berat
Tes Schwabach
Prinsip: membandingkan kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita dengan hantaran tulang pemeriksa.
Pemeriksa harus normal.
Cara : lihat lampiran
Hasil : - Normal bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita dan pemeriksa sama.
- Diperpanjang bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita lebih lama dibanding pemeriksa.
Ini pada KP. jenis hantaran.
- Diperpendek bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang pendengaran lebih pendek dibanding
pemeriksa. Ini pada KP. jenis sensorineural 7 , 8
Tes audiometri
Ini merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik.
Tes ini meliputi : - Audiometri nada murni.
- Audometri nada tutur.
* Audiometri nada murni
Prinsip: Mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran
tulang penderita dengan alat elektroakustik.
Mat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal
dengan frekuensi dan intensitasnya dapat diukur.
Untuk mengukur nilai ambang hantaran udara penderita
menerima suara dari sumber suara lewat heaphone,
sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya
penderita menerima suara dari sumber suara lewat
vibrator.
Hasil : lihat pada uraian gejala dan tanda-tanda.
Manfaat: - Dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran
masing - masing telinga secara kualitatif (pendengaran
normal, KP. jenis hantaran, KP. jenis sensorineural,
dan KP. jenis campuran).
- Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran
secara kuantitatif (normal, ringan sedang dan berat).
Derajat KP. disini ditentukan dengan mengambil
nilai rata-rata dari ambang pendengaran hantaran
udara pada frekuensi 500; 1000 dan 2000 Hz 5
* Audiometri nada tutur :
Prinsip: Mengukur kemampuan pendengaran penderita yang
dinyatakan dengan dua titik penting :
1) Nilai ambang persepsi tutur (NPT) yaitu ambang
penerimaan percakapan penderita di mana penderita
dapat menirukan 50% dari kata-kata yang disajikan
dengan benar pada intensitas minimal. Dari NPT ini
dapat memperoleh gambaran KP. secara kuantitatif.
2) Nilai diskriminasi tutur (NDT) : yaitu suatu nilai
prosentase tertinggi dari kata-kata yang disajikan dapat
ditiru oleh penderita dengan benar pada suatu intensitas
suara tertentu. NDT ini dapat menunjukkan
gambaran KP. secara kuantitatif.
Dari kedua nilai ini, yang paling banyak dipakai
dalam klinik adalah NDT. Hal ini karena di samping
secara kuantitatif dapat menunjukkan jenis KP. juga
dapat menunjukkan lokasi/kerusakan/lesi pada sistem
pendengaran yang tidak dapat diketahui dengan
tes audiometri nada murni. Lokasi lesi tersebut dapat
pada : telinga luar dan tengah, telinga dalam (koklear)
dan retrokoklear.
Hasil : Hopkinson dan Thompson (1967) membagi NDT
sebagai berikut (dikutip oleh Manukbua A) 6 :
a) 90 - 100% dalam batas normal atau ada ketulian
hantaran.
b) 50 - 80% KP. jenis campuran, KP. jenis sensorineural
tanpa kelainan koklear.
c) 22 - 48% kelainan koklear.
d) kurang dari 22% kelainan retrokoklear6 .
Manfaat:- Dapat mengetahui KP. secara kualitatif dan kuantitatif.
- Dapat mengetahui lokalisasi kerusakan telinga dan
jalur persyarafan pendengaran.
- Dapat mengetahui perbaikan pendengaran sesudah
tim panoplastik.
- Untuk pemilihan alat bantu dengar yang cocok.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini diperlukan bila ada indikasi, khususnya
KP. yang erat hubungannya dengan penyakit sistemik, penyakit
intrakranial, dan untuk mengenyampingkan penyakit organik
pada K.P. jenis fungsional. 3,7
RINGKASAN
Kekurangan pendengaran adalah merupakan gejala dari
suatu penyakit/gangguan telinga yang tidak dapat dipisahkan
dari penyebabnya.
Kekurangan pendengaran tersebut terdiri dari berbagai jenis
yang berbeda-beda lokalisasi patologinya sehingga diagnosisnya
juga berbeda-beda. Disamping itu derajat KP. yang terjadi
juga berbeda-beda mulai dari yang ringan sampai berat.
Protokol diagnostik KP. terdiri dari : anamnesis riwayat
penyakit telinga, pemeriksaan khusus telinga, hidung dan
tenggorok, tes fungsi pendengaran dan pemeriksaan penunjang.
Diagnostik KP. jenis hantaran lebih mudah bila dibandingkan
dengan KP. jenis lain. Hal ini karena kelainan patologinya
dapat diketahui dengan jelas dan tes fungsi pendengaran
dengan alat sederhana sudah cukup memadai. Sedangkan KP.
jenis lain diagnostik lebih sukar oleh karena kelainan patologinya
lebih sulit diketahui dan tes fungsi pendengarannya lebih
rumit dan memerlukan alat yang lebih kompleks.
SARAN
Dianjurkan kepada dokter umum, khususnya yang bekerja
di daerah untuk lebih memperhatikan masalah kekurangan
pendengaran pada penderita. Tes pendengaran dapat dilakukan
tanpa alat (tes bisik) maupun dengan alat sederhana (tes
garputala), meskipun tidak ada alat elektroakustik (audiometri).
Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985 1 9
KEPUSTAKAAN
1. Dullah A. "Masalah Cacat Tuli", Cermin Dunia Kedokteran, No. 9 th :
1977, hal : 11 - 13.
2. Goodhill V. "Ear diseases, Deafness and dizziness, Harper & Row
Publ. Virginia Avenue Maryland, 1979, p : 88 - 103, p : 130 - 141.
3. Sataloff J. "Hearingloss" Philadelphia - London - Toronto : JB Lipincott
Co, 1966 : A) p : 5-9, b). p : 10-16, c) p : 17-31, d) p : 107-121,
e) p : 200-215.
4. Zaman M : "Penyebab tuli di Indonesia" Simposium Tanarungu, Tunawicara
di Semarang, Oktober 1977, p : 1-8.
5. Mengape D. "Audiometri nada mumi". Himpunan naskah lokakarya
audiologi. BGn. THT FIIK Unhas Ujungpandang, 1978.
6. Manukbua A : "Audiometri nada tutur". Himpunan naskah lokakarya
Audiologi, Bgn. THT FIIK Unhas Ujungpandang 1978.
7. Goodman Allan C. Paediatric audiology in Paediatric Otolaryngology
Vol : II Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders Co, 1972,
p : 901-918.
8. Speaks C :" Evaluation of disorders of the central auditory pathway
in Otolaryngology Ed. by Paparella MM & * Shumrick, Ilnd Ed, Vol:
II, Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders Co, 1980, p :
1846-1858.
9. Karie MD. "fnsldens berbagai hearingloss nada murni" Penelitian selama
periode 1977-1978, untuk mendapatkan keahljan THT, 1980.
10. Adams GL, Spies LR Jr. Paparella MM. Audiology in Fundamental's
of Otolaryngology 5th Ed, Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders
Co 1978, p : 67-82.
11. Heffersen HP, Simons MR, Goodhill V. A" udiologic assessment,
functional hearing less and obyective audiometry in Ear diseases, deafness
and dizzines, Ed, by Goodhill V, Maryland : Harper and Rew Publ,
1979, p : 142-183.
12. Sedjawidada R : "Tes bisik". Kumpulan naskah Konas VPerhati, Semarang
27-29 Oktober 1977, hal : 189-197.
Telah dibacakan

Diagnosis Kekurangan Pendengaran

PENDAHULUAN
Kekurangan pendengaran (K.P) bukanlah suatu penyakit
melainkan suatu gejala dari berbagai penyakit/gangguan
telinga 1 - 3 .
Penderita dengan keluhan K.P. tidak jarang ditemukan dalam
praktek umum di Indonesia, di mana insidensi KP. bilateral
saat ini sudah mencapai + 1,9% dari penduduk di Indonesia 4 .
Diagosis sering tidak mudah, oleh karena : (1) Penderita
kurang kooperatif (terutama anak-anak, penderita gangguan
mental, pendidikan yang kurang, dan usia lanjut), (2) Penyebab
kekurangan pendengaran itu sendiri sukar diketahui 1.3.5.6
Berdasarkan hal tersebut di atas, timbul masalah, bagaimana
cara membuat diagnosis K.P. yang sederhana sehingga dapat
dipakai oleh dokter-dokter umum di daerah-daerah namun
hasilnya cukup dapat dipercaya.
BATASAN DAN RUANG LINGKUP
Yang dimaksud dengan kekurangan pendengaran adalah
keadaan di mana seseorang kurang dapat mendengar dan
mengerti suara/percakapan yang didengarnya1,3
Untuk mendiagnosis KP., sebagai dokter umum cukuplah
memperhatikan keempat aspek penting berikut ini :
1. Penentuan pada penderita apakah ada KP. atau tidak
2. Jenis KP.
3. Derajat K.P.
4. Menentukan penyebab KP.
Penentuan pada penderitaan apakah ada K.P. atau tidak
Dalam penentuan apakah ada KP. atau tidak pada penderita,
hal penting yang harus diperhatikan adalah umur penderita.
Respon manusia terhadap suara/percakapan yang didengarnya
tergantung pada umur pertumbuhannya. Usia 6
tahun diambil sebagai batas. Kurang dari 6 tahun respons
anak terhadap suara/percakapan berbeda-beda tergantung
umurnya, sedangkan umur lebih dari 6 tahun, respons anak
terhadap suara/percakapan yang didengar sama dengan orang
dewasa2, 5 , 7
Karena luasnya aspek diagnostik KP. pada kedua golongan
umur tersebut, maka dalam makalah ini yang diuraikan hanya
diagnosis KP. pada anak-anak umur 6 tahun ke atas dan
dewasa.
Jenis K.P.
Jenis KP. berdasarkan lokalisasi lesi :
a). KP. jenis hantaran
Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga luar dan atau
telinga tengah.
b).KP. Jenis sensorineural
Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga dalam (pada
koklea dan N. VIII).
c). K.P. Jenis campuran
Lokalisasi lesi/gangguan pada telinga tengah dan telinga
dalam.
d).KP. Jenis sentral
Lokalisasi gangguan/lesi pada nukleus auditorius di batang
otak sampai dengan koteks otak. 3 . 8
e). KP. Jenis fungsional
Pada K.P. Jenis ini tidak dijumpai adanya gangguan/lesi
organik pada sistem pendengaran baik perifer maupun
sentral, melainkan berdasarkan adanya problem psikologis
atau emosional. 2,3
Untuk K. P. jenis sentral dan fungsional, mengingat masih
terbatasnya pengetahuan proses pendengaran di wilayah
tersebut, di samping masih belum banyak dikenal teknik uji
pendengaran yang dapat dimanfaatkan untuk bahan diagnostik,
maka pada makalah ini akan dibatasi pada diagnosis KP.
jenis hantaran, sensorineural dan campuran saja.
Derajat K.P.
Klasifikasi derajat KP. menurut ISO 1964 dan ASA 1951
(dikutip oleh Mangape D) adalah sebagai berikut :
1 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985
Derajat KP. "dB loss" ISO 1964 ASA 1951
- pendengaran normal - 10 - 26 dB - 10 - 15 dB
- ringan 27 - 40 dB 16 - 29 dB
- sedang 41 - 55 dB 30 - 44 dB
- sedang - berat 56 - 70 dB 45 - 59 dB
- berat 71 - 90 dB 60 - 79 dB
- sangat berat lebih 90 dB lebih 80 dB
Keterangan: "dB loss" di sini diambil rata-rata kekurangan
pendengaran hantaran udara pada frekuensi 500, 1000 dan
2000 Hz.
Menentukan Penyebab K.P.
Menentukan penyebab K. P. merupakan hal yang paling sukar
di antara ke 4 batasan/aspek tersebut di atas.
Untuk itu diperlukan :
- Anamnesis yang luas dan cermat tentang riwayat terjadinya
K.P. tersebut.
- Pemeriksaan umum dan khusus (telinga, hidung dan tenggorokan)
yang teliti.
- Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan seperti foto Ro,
laboratorium), dan sebagainya.3 11
GEJALA DAN TANDA-TANDA
K.P. Jenis hantaran
Pada K.P. jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena
beberapa gangguan/lesi pada kanal telinga Iuar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra
rotunda dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa
komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam
maupun jalur persyaratan pendengaran (N.VIII). Ini merupakan
perbedaan yang prinsipiil dengan K.P. jenis lainnya.
Gejala
a) ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi
telinga sebelumnya.
b) Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah
bergerak dengan perubahan posisi kepala.
c) K.P. yang terjadi dapat timbul secara mendadak setelah
mandi, bangun tidur atau setelah membersihkan kotoran telinga
luar dengan ujung jarinya.
d) Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau
mendengung)
e) Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara
dengan suara lembut (soft voice) khususnya pada penderita
otosklerosis.
f) Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana
ramai (parakusis Wilisiana).
Kadang-kadang mengeluh tidak dapat mendengar dengan
haik waktu makan, bahkan seperti mendengar suara gaduh
waktu mengujah.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi
1. Ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi kendang
telinga ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah.
2. Dapat juga kanal telinga luar/selaput kendang telinga tampak
normal, misalnya : pada otosklerosis, di mana yang terkena
rantai tulang pendengarannya.
b) Tes fungsi pendengaran
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter.
- Sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada
rendah.
2. Tes garputala :
- Rinne (-), dengan memakai garputala 250 Hz (hantaran
tulang lebih baik dari hantaran udara).
- Weber lateralisasi kearah yang sakit (memakai garputala
250 Hz).
- Schwabach memanjang (memakai garputala 512 Hz).
3. Tes Audiometri
* Audiometri nada murni :
- Hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara.
- Hantaran tulang dalam batas normal.
- Ada kesenjangan antara hantaran udara dan hantaran
tulang lebih dari 15 dB (disebut gap).
- Nilai ambang hantaran udara tidak akan melebihi 60 dB.
* Audiometri nada tutur :
- Nilai ambang persepsi tutur bergeser ke kanan pada
gambaran audiogramnya.
- Nilai diskriminasi tutur dapat mencapai 100% bila
intensitas suara diperkeras.
K.P. Jenis Sensorineural
K.P. jenis ini merupakan problem yang menjadi tantangan
bagi para dokter. Masalahnya adalah : (1) Dari semua jenis
K.P. maka K.P. jenis sensorineural inilah yang terbanyak4,9 .
terutama pada pekerja industri, dan usia lanjut. (2) K.P. jenis
ini umumnya irrebersibel dan jelas mempengaruhi kepribadian
penderita yang dapat berkembang kearah yang kurang baik.
Adanya efek psikologis pada kepribadian penderita inilah
menurut pandangan Sataloff J. (1966), maka K.P. jenis sensorineural
mempunyai latar belakang medis penting.3
Gejala
a) Bila K.P.bilateraldan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti
suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini
lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari
penderita K.P. jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
b) Bila ada tinitus biasanya nada tinggi sebagai suara yang
mendering atau menyiut -nyiut.
c) Penderita lebih sukar mengartikan/mendengar suara/
percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
d) Dapat pula ada riwayat trauma kepala, trauma akustik,
riwayat pemakaian obat-obat ototoksik ataupun penyakit sistemik
sebelumnya.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi :
Kanal telinga luar maupun selaput kendang telinga normal.
b) Tes fungsi pendengaran :
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak 5
meter.
- Sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi
(huruf konsonan).
Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985 17
2. Tes garputala :
- Rinne (+), hantaran udara lebih balk dari pada hantaran
tulang.
- Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat.
- Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang.
3. Tes audiometri nada murni :
- Ada penurunan nilai ambang hantaran udara dan hantaran
tulang, biasanya akan lebih berat mengenai frekuensi
tinggi.
- Hantaran udara berimpit dengan hantaran tulang.
- Kadang-kadang disertai adanya suatu dip pada frekuensi
tinggi (4000 Hz untuk trauma akustik, obat ototoksik
dsb.).
4. Tes audiometri nada tutur :
- Nilai diskriminasi tutur (NDT) tidak dapat mencapai 100%
meskipun intensitas suara diperkeras.
- Dapat terjadi fenomena recruitment.
K.P. Jenis Campuran
Merupakan kombinasi dari KP. jenis hantaran dan K.P. jenis
sensorineural. Mula-mula K.P. jenis ini adalah jenis hantaran
(misalnya : otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut
menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya mulamula
K.P. jenis sensorineural lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran, seperti misalnya : presbiakusis kemudian
terkena infeksi otitis media. Peristiwa yang lain yang juga
dapat terjadi kedua gangguan tersebut terjadi bersama-sama.
Misalnya : trauma kepala yang berat sekaligus mengenai
telinga tengah dan telinga dalam.
Gejala -gejala
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua
komponen gejala K. P. jenis hantaran dan sensorineural, tergantung
mana yang lebih dulu terjadi, dapat pula terjadi
bersamaan seperti yang terjadi pada trauma kepala tesebut
di atas.
Tanda-tanda
a) Pemeriksaan fisik/otoskopi :
- Sperti pada K.P. jenis sensorineural.
b) Tes fungsi pendengaran :
1. Tes bisik :
- Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter.
- Sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada
rendah maupun nada tinggi.
2. Tes garputala :
- Rinne (-).
- Weber lateralisasi ke arah yang sehat .
Schwabach memendek.
3. Tes audiometri :
* Audiometri nada murni
- Audiogram menunjukkan adanya penurunan nilai ambang
hantaran tulang dan hantaran udara, tetapi ada kesejangan
antara keduanya lebih dari 15 dB pada setiap frekuensi.
* Audiometri nada tutur : Audiometri nada murni :
- Audiogram menunjukkan pengurangan nilai diskriminasi
tutur (NDT), tidak dapat mencapai 100%. Bila intensitas
suara dinaikkan memang ada perbaikan sedikit tetapi tidak
sampai mencapai 100% 3,10
DIAGNOSIS KEKURANGAN PENDENGARAN
Setelah memahami gejala dan tanda-tanda berbagai jenis
kekurangan pendengaran tersebut di atas, akan diuraikan
lebih lanjut bagaimana penerapannya dalam membuat diagnosis
KP. sepraktis mungkin, tetapi cukup bagi dokter-dokter umum.
Pada prinsipnya meliputi :
A. Anamnesis (lihat gejala dan lampiran).
B. Pemeriksaan, yang meliputi
a. Fisik/otoskopik telinga, hidung dan tenggorok (lihat tandatanda).
b. Tes fungsi pendengaran : Tes bisik, Tes garputala, Tes
audiometri.
c. Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan).
Tes fungsi pendengaran
TES BISIK
Suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa
kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil
tes berupa jarak pendengaran yaitu jarak antara pemeriksa
dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar 6 .
Cara pemeriksaan : lihat lampiran.
Hasil : Normal : 6/6 (17,5 dB) atau
5/6 (23,6 dB)
K.P. derajat ringan : 4/6 (39,8 dB)
K.P. derajat sedang : 3/6 (44 dB)
K.P. derajat sedang berat : 2/6 (51,5 dB)
K.P. derajat berat : 1/6 (85. dB)
TES GARPUTALA
Tes ini dapat menentukan jenis-jenis K.P. Dikenal ada 3
macam tes garputala yang lazim dipakai :
a. Tes Rinne.
b. Tes Weber.
c. Tes Schwabach.
Semua tes garputala ini menggunakan garputala 256 Hz dan
512 Hz.
Tes Rinne
Prinsip: membandingkan kemampuan pendengaran hantaran
tulang dan hantaran udara penderita.
Cara : lihat lampiran.
Hasil : - Tes Rinne (+) bila hantaran udara >> hantaran tulang
- Tes Rinne (-) bila hantaran udara << hantaran tulang.
- Tes Rinne (+): pada pendengaran normal dan K.P.
jenis sensorineural
- Tes Rinne (-): pada K.P. jenis hantaran
Tes Weber
Prinsip: membandingkan kemampuan hantaran tulang pada
telinga kiri dan kanan penderita.
Cara : lihat lampiran.
Hasil : * Lateralisasi ke arah telinga sakit:
- Telinga tersebut K.P. jenis hantaran, telinga lain
normal
- Kedua telinga KP. jenis hantaran, tetapi telinga
tersebut lebih berat dari yang lain
1 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985
- Telinga tersebut normal/KP. jenis hantaran, sedang
telinga lain KP. jenis sensorineural.
* Tidak ada lateralisasi : - Kedua telinga normal
- Kedua telinga KPJH sama
berat
- Kedua telinga KPJSN sama
berat
Tes Schwabach
Prinsip: membandingkan kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita dengan hantaran tulang pemeriksa.
Pemeriksa harus normal.
Cara : lihat lampiran
Hasil : - Normal bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita dan pemeriksa sama.
- Diperpanjang bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang penderita lebih lama dibanding pemeriksa.
Ini pada KP. jenis hantaran.
- Diperpendek bila kemampuan pendengaran hantaran
tulang pendengaran lebih pendek dibanding
pemeriksa. Ini pada KP. jenis sensorineural 7 , 8
Tes audiometri
Ini merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik.
Tes ini meliputi : - Audiometri nada murni.
- Audometri nada tutur.
* Audiometri nada murni
Prinsip: Mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran
tulang penderita dengan alat elektroakustik.
Mat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal
dengan frekuensi dan intensitasnya dapat diukur.
Untuk mengukur nilai ambang hantaran udara penderita
menerima suara dari sumber suara lewat heaphone,
sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya
penderita menerima suara dari sumber suara lewat
vibrator.
Hasil : lihat pada uraian gejala dan tanda-tanda.
Manfaat: - Dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran
masing - masing telinga secara kualitatif (pendengaran
normal, KP. jenis hantaran, KP. jenis sensorineural,
dan KP. jenis campuran).
- Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran
secara kuantitatif (normal, ringan sedang dan berat).
Derajat KP. disini ditentukan dengan mengambil
nilai rata-rata dari ambang pendengaran hantaran
udara pada frekuensi 500; 1000 dan 2000 Hz 5
* Audiometri nada tutur :
Prinsip: Mengukur kemampuan pendengaran penderita yang
dinyatakan dengan dua titik penting :
1) Nilai ambang persepsi tutur (NPT) yaitu ambang
penerimaan percakapan penderita di mana penderita
dapat menirukan 50% dari kata-kata yang disajikan
dengan benar pada intensitas minimal. Dari NPT ini
dapat memperoleh gambaran KP. secara kuantitatif.
2) Nilai diskriminasi tutur (NDT) : yaitu suatu nilai
prosentase tertinggi dari kata-kata yang disajikan dapat
ditiru oleh penderita dengan benar pada suatu intensitas
suara tertentu. NDT ini dapat menunjukkan
gambaran KP. secara kuantitatif.
Dari kedua nilai ini, yang paling banyak dipakai
dalam klinik adalah NDT. Hal ini karena di samping
secara kuantitatif dapat menunjukkan jenis KP. juga
dapat menunjukkan lokasi/kerusakan/lesi pada sistem
pendengaran yang tidak dapat diketahui dengan
tes audiometri nada murni. Lokasi lesi tersebut dapat
pada : telinga luar dan tengah, telinga dalam (koklear)
dan retrokoklear.
Hasil : Hopkinson dan Thompson (1967) membagi NDT
sebagai berikut (dikutip oleh Manukbua A) 6 :
a) 90 - 100% dalam batas normal atau ada ketulian
hantaran.
b) 50 - 80% KP. jenis campuran, KP. jenis sensorineural
tanpa kelainan koklear.
c) 22 - 48% kelainan koklear.
d) kurang dari 22% kelainan retrokoklear6 .
Manfaat:- Dapat mengetahui KP. secara kualitatif dan kuantitatif.
- Dapat mengetahui lokalisasi kerusakan telinga dan
jalur persyarafan pendengaran.
- Dapat mengetahui perbaikan pendengaran sesudah
tim panoplastik.
- Untuk pemilihan alat bantu dengar yang cocok.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini diperlukan bila ada indikasi, khususnya
KP. yang erat hubungannya dengan penyakit sistemik, penyakit
intrakranial, dan untuk mengenyampingkan penyakit organik
pada K.P. jenis fungsional. 3,7
RINGKASAN
Kekurangan pendengaran adalah merupakan gejala dari
suatu penyakit/gangguan telinga yang tidak dapat dipisahkan
dari penyebabnya.
Kekurangan pendengaran tersebut terdiri dari berbagai jenis
yang berbeda-beda lokalisasi patologinya sehingga diagnosisnya
juga berbeda-beda. Disamping itu derajat KP. yang terjadi
juga berbeda-beda mulai dari yang ringan sampai berat.
Protokol diagnostik KP. terdiri dari : anamnesis riwayat
penyakit telinga, pemeriksaan khusus telinga, hidung dan
tenggorok, tes fungsi pendengaran dan pemeriksaan penunjang.
Diagnostik KP. jenis hantaran lebih mudah bila dibandingkan
dengan KP. jenis lain. Hal ini karena kelainan patologinya
dapat diketahui dengan jelas dan tes fungsi pendengaran
dengan alat sederhana sudah cukup memadai. Sedangkan KP.
jenis lain diagnostik lebih sukar oleh karena kelainan patologinya
lebih sulit diketahui dan tes fungsi pendengarannya lebih
rumit dan memerlukan alat yang lebih kompleks.
SARAN
Dianjurkan kepada dokter umum, khususnya yang bekerja
di daerah untuk lebih memperhatikan masalah kekurangan
pendengaran pada penderita. Tes pendengaran dapat dilakukan
tanpa alat (tes bisik) maupun dengan alat sederhana (tes
garputala), meskipun tidak ada alat elektroakustik (audiometri).
Cermin Dunia Kedokteran No. 39 1985 1 9
KEPUSTAKAAN
1. Dullah A. "Masalah Cacat Tuli", Cermin Dunia Kedokteran, No. 9 th :
1977, hal : 11 - 13.
2. Goodhill V. "Ear diseases, Deafness and dizziness, Harper & Row
Publ. Virginia Avenue Maryland, 1979, p : 88 - 103, p : 130 - 141.
3. Sataloff J. "Hearingloss" Philadelphia - London - Toronto : JB Lipincott
Co, 1966 : A) p : 5-9, b). p : 10-16, c) p : 17-31, d) p : 107-121,
e) p : 200-215.
4. Zaman M : "Penyebab tuli di Indonesia" Simposium Tanarungu, Tunawicara
di Semarang, Oktober 1977, p : 1-8.
5. Mengape D. "Audiometri nada mumi". Himpunan naskah lokakarya
audiologi. BGn. THT FIIK Unhas Ujungpandang, 1978.
6. Manukbua A : "Audiometri nada tutur". Himpunan naskah lokakarya
Audiologi, Bgn. THT FIIK Unhas Ujungpandang 1978.
7. Goodman Allan C. Paediatric audiology in Paediatric Otolaryngology
Vol : II Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders Co, 1972,
p : 901-918.
8. Speaks C :" Evaluation of disorders of the central auditory pathway
in Otolaryngology Ed. by Paparella MM & * Shumrick, Ilnd Ed, Vol:
II, Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders Co, 1980, p :
1846-1858.
9. Karie MD. "fnsldens berbagai hearingloss nada murni" Penelitian selama
periode 1977-1978, untuk mendapatkan keahljan THT, 1980.
10. Adams GL, Spies LR Jr. Paparella MM. Audiology in Fundamental's
of Otolaryngology 5th Ed, Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders
Co 1978, p : 67-82.
11. Heffersen HP, Simons MR, Goodhill V. A" udiologic assessment,
functional hearing less and obyective audiometry in Ear diseases, deafness
and dizzines, Ed, by Goodhill V, Maryland : Harper and Rew Publ,
1979, p : 142-183.
12. Sedjawidada R : "Tes bisik". Kumpulan naskah Konas VPerhati, Semarang
27-29 Oktober 1977, hal : 189-197.
Telah dibacakan

Friday, March 4, 2011

LABIRINTIS

A. DEFINISI
Labirinitis adalah inflamasi telinga dalam dan dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Labirinitis bacterial, meskipun cukup jarang sejak dikenalnya antibiotika, paling sering terjadi sebagai komplikasi meningitis bakterial. Infeksi berkembang ke telinga dalam melalui kanalis auditorius internus atau aquaduc koklear.

B. ETIOLOGI
Infeksi bakteri yang disebabkan otitis media, atau kolesteatoma, dapat memasuki telinga tengah dengan menembus membrane jendela bulat atau oval. Labirintitis viral merupakan diagnosis medis yang sering, namun hanya sedikit yang diketahui mengenai kelainan ini, yang mempengaruhi baik keseimbangan maupun pendengaran. Virus penyebab yang paling sering teridentifikasi adalah gondongan, rubella, rubeola, dan influenza.
Secara etiologi labirintis terjadi karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa. Terdapat 2 bentuk labirinitis. Yaitu labiribnitis serosa dean labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis supuratif kronik difus. Pada labirinitis serosa taksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirin supuratif dengan invasi sel radang ke labirin. Sehingga terjadi kerusakan yang lereversibel. Seperti fibrosa dan osifikasi. Pada kedua jenis labirinitis tersebut operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang – kadang diperlukan juga draifase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat terutama ditujukan pada pengobatan otitis media kronik. Labirinitis serosa difus sering kali terjadi sekunder dari labirinitis sirkumskrifta oleh pada terjadi primer pada otitis media akut. Masuknya toksin oleh bakteri melalui tingkap bulat, tingkap lontong untuk melalui erosi tulang labirin. Infeksi tersebut mencapai endosteum melalui seluruh darah.
Diperkirakan penyebab labirinitis yang paling sering absorbsi produk bakteri di telinga dan mastoid ke dalam labirin, dibentuk ringan labirinitis serosa selalu terjadi pada operasi telinga dalam misalnya pada operasi fenestrasi, terjadi singkat dan biasanya tidak menyebabkan gangguan pendengaran, kelainan patologiknya seperti inflamasi non purulen labirin.

C. KLASIFIKASI
1. Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum ( general ), dengan gejala fertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis yang terbatas ( labirinitis sirkumskripta ) menyebabkan terjadinya vertigo saja / tuli saraf saja.
2. Labirinitis terjadinya oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difus.
3. Labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.

Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang – kadang diperlukan juga drenase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa kolesteatoma.
Gejala dan tanda :
Terjadi tuli total disisi yang sakit, vertigo ringan nistagmus spontan biasanya kea rah telinga yang sehat dapat menetap sampai beberapa bulan atau sampai sisa labirin yang berfungsi dapat menkompensasinya. Tes kalori tidak menimbulkan respons disisi yang sakit dan tes fistulapur negatif walaupun dapat fistula.

D. MANIFESTASI KLINIS
Labirintitis ditandai oleh awitan mendadak vertigo yang melumpuhkan, bisanya disertai mual dan muntah, kehilangan pendengaran derajat tertentu, dan mungkin tinnitus. Episode pertama biasanya serangan mendadak paling berat, yang biasanya terjadi selama periode beberapa minggu sampai bulan, yang lebih ringan. Pengobatan untuk labirintitis balterial meliputi terapi antibiotika intravena, penggantian cairan, dan pemberian supresan vestibuler maupun obat anti muntah. Pengobatan labirintitis viral adalah sintomatik dengan menggunakan obatantimuntah dan antivertigo.

E. PATOFISIOLOGI
Kira – kira akhir minggu setelah serangan akut telinga dalam hampir seluruhnya terisi untuk jaringan gramulasi, beberapa area infeksi tetap ada. Jaringan gramulasi secara bertahap berubah menjadi jaringan ikat dengan permulaan. Pembentukan tulang baru dapat mengisi penuh ruangan labirin dalam 6 bulan sampai beberapa tahun pada 50 % kasus.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Fistula dilabirin dapat diketahui dengan testula, yaitu dengan memberikan tekanan udara positif ataupun nrgatif ke liang telinga melalui otoskop siesel dengan corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang di masukan ke dalam liang telinga. Balon karet di pencet dan udara di dalamnya akana menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten maka akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membrane. Tes fistula positif akan menimbulkan ristamus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya bisa tertutup oleh jaringan granulasi atau bila labirin sudah mati atau paresis kanal.
Pemeriksaan radiologik tomografi atau CT Scan yang baik kadang – kadang dapat memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan dikanalis semisirkularis horizontal.
Pada fistula labirin / labirintis, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan menutup fistula, sehingga fungsi telinga dalam dapat pulih kembali. Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan didaerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat / sekeping tulang / tulang rawan.

G. PENATALAKSANAAN
Terapi local harus ditujukan kesetiap infeksi yang mungkin ada, diagnosa bedah untuk eksenterasi labirin tidak diindikasikan, kecuali suatu focus dilabirin untuk daerah perilabirin telah menjalar untuk dicurigai menyebar ke struktur intrakronial dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika bila dicurigai ada focus infeksi di labirin atau di ospretosus dapat dilakukan drerase labirin dengan salah satu operasi labirin setiap skuestrum yang lepas harus dibuang, harus dihindari terjadinya trauma NUA. Bila saraf fosial lumpuh, maka harus dilakukan dengan kompresi saraf tersebut. Bila dilakukan operasi tulang temporal maka harus diberikan antibiotika sebelum dan sesudah operasi.

H. KOMPLIKASI
Tuli total atau meningitis.

I. FOKUS PENGKAJIAN
Yang harus dikaji pada pasien menierre adalah :
1. Aktifitas.
2. Riwayat kesehatan dahulu.
3. Pendengaran.
4. Hubungan social.
5. Asupan nutrisi.

J. FOKUS INTERVENSI
1. Ketidak berdayaan yang berbeda persoalan penyakit dan menjadi tidak berdaya dalam situasi tertentu akibat gangguan keseimbangan.
a. Tujuan mengalami peningkatan perasaan control terhadap kehidupan dan aktivitas meskipun tertentu akibat gangguan keseimbangan.
b. Intervensi :
1) Kaji kebutuhan, nilai, perilaku dan kesiapan pasien untuk memulai aktivitas.
2) Beri kesempatan bagi pasien mengidentifikasi perilaku koping yang berhasil sebelumnya.
3) Bantu pasien mengindentifikasi perilaku koping yang berhasil sebelumnya.
c. Kriteria Hasil
1) Tidak membatasi aktivitas secara membabi buta.
2) Mengucapkan perasaan positif mengenai kemampuan mencapai perasaan mampu dan kotrol.
3) Perilaku koping sebelumnya yang berhasil telah teridentifikasi.
2. Resiko terhadap trauma yang kesulitan keseimbangan
a. Tujuan : mengurangi resiko trauma dengan mengadaptasi lingkungan rumah dan menggunakan alat rehabilitasi bila perlu.
b. Intervensi :
1) Lakukan pengkajian untuk gangguan keseimbangan dengan menarik riwayat dan pemeriksaan adanya nistagmus Romberg positif dan ketidakmampuan melakukan Romberg tandem.
2) Bantu ambulasi bila ada indikasi.
3) Dorong peningkatan tingkat aktifitas dengan atau tanpa menggunakan alat Bantu.
c. Kriteria Hasil :
1) Mengadaptasi lingkungan rumah atau menggunakan alat rehabilitasi untuk jatuh.
2) Mampu menggunakan ambulasi dengan bantuan seperlunya.
3) Tingkat aktifitas telah meningkat.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berbeda dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mendengar ketidak ada ikutannya mengikuti instruksi.
a. Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi efek procedur dan pengobatan.
b. Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
2) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
3) Diskusikan penyebab individual.
c. Kriteria Hasil :
1) Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alas an dari suatu tindakan.
2) Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.

Thursday, March 3, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CORPULMONAL

A. DEFINSI

Cor pulmonal adalah kondisi terjadinya pembesaran jantung kanan ( dengan atau tanpa gagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang memangaruhi struktur, fungsi, atau vaskularisasi paru – paru.

B. ETIOLOGI

Banyak penyaklit yang berhubungan dengan hipoksemia dan mempengaruhi paru-paru dapat menyebabkan cor pulmonal. Secara umum, penyakit cor pul monal disebabkan oleh :
1. Penyakit paru yang merata
Terutama emfisema, brnkhitis kronik (salah satu deretan penyakit cronic obstructive pulmonary disease- COPD). Dan fribosis akibat tuberculosis.
2. Penyakit pembuluh darah paru-paru
Terutama trombosis dan embolus paru-paru, fibrosis akibat penyinaran menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah paru- paru
3. Hipoventilasi alveolar menahun
Adalah semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, misalnya :
a) Penebalan pleura bilateral
b) Kelainan neomuskuler, seperti polimielitis dan distrofi otot
c) Kiposkoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasita rongga trorak sehingga pergerakan thorak berkurang.

C. MANIFISTASI KLINIS

Gejala yang muncul dari pasien dengan penyakit cor pulmonal adalah :
1. sesuai dengan penyakit yang melatar belakangi, contohnya COPD akan menimbulkan gejala nafas pendek dan batuk.
2. gagal ventrikel kanan : endema, distensi vena leher, organ hati teraba efusi pleura, ascites, dan mumur jantung.
3. sakit kepla, bingung, dan somnolen terjadi akibat dari peningkatan PCO2

D. PATOFISIOLOGI

Pembesaran ventrikel kanan pada cor pulmonal merupakan fungsi pembesaran atau kopensasi dari peningkatan dari afterload. Jika resistensi vaskuler paru-paru meningkat dan tetap meningkat, seperti pada penyakit vaskuler atau paremkim paru-paru, peningkatan curah jantung dan pengerahan tenaga fisis dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermagna. Afterload ventrikel kanan secara kronis meningkat jika volume paru-paru membesar seperti pada penyakit COPD yang dikarenakan danya pemanjangan pembuluh paru-paru dan kompresi kapiler alveolar.

E. PATHWAY































Penyakit paru dapat menyebabakan perubahan fisiologi yang pada suatu waktu akanmempengaruhi jantung, menyebabkan pembesaran ventrikel kanan, dan sering kali berakhir dengan gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunan oksigenasi paru-paru, dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2), Hiperkapnia (peningkatan PaCO2), insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnia akan menyebabkanvasokonstriksi arteri pulmonary dan memungkinkan penurunan vaskularisasi paru-paru seperti pada empisema danemboli paru-paru. Akibatnya, akan terjadi peningkatan tahanan pada system sirkulasi polmonal, sehingga menyebabkan hipertensi pulmonal. Arterial mean pressure pada paru-paru sebesar 45 mmHg atau lebih dan dapat menimbulkan cor pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertropi dan mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.

F. PATOGENESIS

Secara umum cor pulmonal dibagi menjadi dua bentuk :

1. Cor pulmonal akut
Merupkan dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.
Etiologi :
Terjadinya embolus multipel pada paru-paru secara mendadak akan menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.
Gejala :
a. Biasanya segera disususl dengan kematian
b. Terjadinya dilatasi dari jantung kanan.

2. Cor pulmonal kronis
Merupakan bentuk cor pulmonal yang sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru-paru atau adanya kelainan pada thorak, sehingga akan menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan radiologi
Batang pulmonal dan hilus membesar.perluasan hilus dapat di hitung dari perbandingan jarak antara permulaan percabangan pertama arteri pulmonalis utama kanan dan kiri di bagi dengan diameter transversal toraks.perbandingan > 0,36 menunjukkan hipertensi pulmonal.
2. Ekokardiografi
Ekokardiografi memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrike kanan.meskipun perubahan volume tidak dapat diukur,teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas vertrikel kanan dalam hubungannya dengan memperbesar ventrikel kiri.septum interventrikel dapat tergeser ke kiri.
3. Magnetic resonance imaging (mri)
Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan,ketebalan dinding,volume kavitas,dan jumlah darah yang dipompa.
4. Biopsy paru-paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru-paru seperti penyakit vaskuler kolagen,artritis rheumatoid,dan granulomatosis wagener.


H. PENATALAKSAAN MEDIS

Tujuan dari penatalaksanaan medis adalah untuk meningkatkan ventilasi pasien dan mengobati penyakit yang melatar belakangi beserta manisfestasi dari gagal jantungnya.
Penatalaksanaan medis secara umum :
1. Pada pasien dengan penyakit asal COPD : pemberian O2 sangat dianjurkan untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal serts tahanan vaskuler pulmonal.
2. Higienis bronchial: diberikan obat golongan bronkodilator.
3. Jika terdapat gejala gagal jantung : perbaiki kondisi hipoksemia dan hiperkapnia.
4. Bedrest,diet rendah sodium,pemberian diuretik.
5. Digitalis: bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan denyut jantung,selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan.
Selain hal tersebut di atas, dianjurkan pula perawatan yang dilakukan di rumah (home care) karena penatalaksanaan dari penyakit ini berhubungan dengan pengobatan terhadap penyakit yang menyebabkan, dan biasanya dalam jangan waktu yang lama. Pasien dengan COPD dianjurkan untuk menghindari allergen yang dapat mengiritasi jalan napas.

I. GAMBARAN KLINIS

a. Penampilan Umum :
• Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
• Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
b. Usia 65 – 75 tahun.
c. Pengkajian fisik
• Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
• Infeksi sistem respirasi
• Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam
• Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
• Produksi sputum dan batuk jarang.
d. Pemeriksaan jantung
• Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor Pulmonal timbul pada stadium akhir.
• Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok
• Biasanya didapatkan, tapi tidak selalu ada riwayat merokok

J. KOMPLIKASI

1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.

2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

K. DIAGNOSA

1) Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan : Bronchospasme, Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan, kental), Menurunnya energi/fatique.
2) Kerusakan Pertukaran gas berhubungan dengan :
Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, bronchospasme, air trapping, Destruksi alveoli).
3) Ketidak seimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan Status Nutrisi (Intake cairan dan makanan)

L. INTERVENSI

1. Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan : Bronchospasme, Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan, kental), Menurunnya energi/fatique
Data-data :
Klien mengeluh sulit untuk bernafas
Perubahan kedalaman/jumlah nafas, penggunaan otot bantu pernafasan
Suara nafas abnormal seperti : wheezing, ronchi, crackles
Batuk(persisten) dengan/tanpa produksi sputum.
Status
Kriteria Hasil :
• Tidak ada demam
• Tidak ada cemas
• RR dalam batas normal
• Irama nafas dalam batas normal
• Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
• Bebas dari suara nafas tambahan

Intervensi :
a. Manajemen jalan nafas
b. Penurunan kecemasan
c. Aspiration precautions
d. Fisioterapi dada
e. Latih batuk efektif
f. Terapi oksigen
g. Pemberian posisi
h. Monitoring respirasi
i. Surveillance
j. Monitoring tanda vital
2. Kerusakan Pertukaran gas berhubungan dengan :
Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, bronchospasme, air trapping, Destruksi alveoli).

Data-data :
Dyspnea
Confusion, lemah.
Tidak mampu mengeluarkan sekret
Nilai ABC abnormal (hypoxia dan hiperkapnia)
Perubahan tanda vital.
Menurunnya toleransi terhadap aktifitas.
Kriteria Hasil :
• Status mental dalam batas normal
• Bernafas dengan mudah
• Tidak ada cyanosis
• PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal
• Saturasi O2 dalam rentang normal
Intervensi :
a. Manajemen asam dan basa tubuh
b. Manajemen jalan nafas
c. Latih batuk
d. Tingkatkan keiatan
e. Terapi oksigen
f. Monitoring respirasi
g. Monitoring tanda vital
3. Ketidak seimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan Status Nutrisi (Intake cairan dan makanan)
Nutrisi (Intake cairan dan makanan)
Data-data :
Dyspnea, fatique
Anorexia, nausea/vomiting.
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot,
tonus otot jelek
Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
Tidak bernafsu untuk makan, tidak tertarik makan
Kriteria Hasil :
• Asupan makanan adekuat
• Intake cairan peroral adekuat
• Intake cairan adekuat
• Intake kalori adekuat
• Intake protein, karbohidrat dan lemak adekuat
• Mampu memeliharan intake kalori secara optimal
• Mampu memelihara keseimbangan cairan
• Mampu mengontrol asupan makanan secara adekuat
Intervensi :
a. Manajemen cairan
b. Monitoring cairan
c. Status dietPage 16
d. Manajemen gangguan makan
e. Manajemen nutrisi
f. Terapi nutrisi
g. Konseling nutrisi
h. Kontroling nutrisi
i. Terapi menelan
j. Monitoring tanda vital
k. Bantuan untuk peningkatan BB
l. Manajemen berat badan

M. IMPLEMENTASI

Pelaksanaan adalah tahap keempat dari proses keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Kozier, 1991).
1) Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dari tiap-tiap masalah atau diagnosa keperawatan yang ada dalam teori disesuaikan dengan prioritas keadaan klien.
2) Tahap pelaksanaan terdiri dari :
a. Keterampilan yang diperlukan pada penatalaksanaan adalah :
• Kognitif adalah suatu keterampilan yang termasuk dalam kemampuan memecahkan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan penilaian yang kreatif.
• Interpersonal adalah suatu yang diperlukan dalam setiap aktivitas perawat yang meliputi keperawatan, konseling, pemberi support yang termasuk dalam kemampuan interpersonal diantaranya adalah perilaku, penguasaan ilmu pengetahuan, ketertarikan oleh penghargaan terhadap budaya klien, serta gaya hidup. Perawat akan mempunyai skill yang tinggi dalam hubungan interpersonal jika mereka mempunyai kesadaran akan sensitivitas terhadap yang lain.
• Tekhnikal adalah suatu kemampuan yang tidak bisa dipisahkan dengan interpersonal skill seperti memanipulasi alat, memberikan suntikan, pembiayaan, evaluasi dan reposisi.
b. Tindakan Keperawatan
• Mandiri atau independen adalah suatu tindakan perawat yang berorientasi pada tim kerja perawat dalam melakukan, menentukan, merencanakan dan mengevaluasi tindakannya :
• Interdependen atau kolaborasi adalah suatu tindakan bersifat kolaboratif tim kesehatan lainnya dalam menentukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap klien yang dirawat, contoh : pemberian obat analgetik untuk mengatasi nyeri pada klien diperlukan kolaborasi dengan dokter.
c. Pendokumentasian Implementasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perawat mencatat tindakan tersebut
dan respon dari pasien dengan menggunakan format khusus pendokumentasian pada pelaksanaan.

N. EVALUASI

Setelah dilakukan implementasi keperawatan, maka hal yang perlu di evaluasi dari tindakan yang telah kita lakukan yaitu :

1. Bersihan jalan nafas efektif .
2. Pertukaran gas yang Adekuat.
3. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan dapat terpenuhi.